Aman, Iman, Amin, Eman
Refleksi Khotbah Kemerdekaan terhadap Pelayanan Perkotaan
Berawal dari khotbah Jumat lalu yang membahas pandangan sebagian ulama mengenai dalil Hubbul Wathan minal Iman (Cinta Tanah Air adalah sebagian dari Iman) beserta ulasan bagaimana “kemerdekaan” dan “rasa aman” itu menjadi prasyarat penting bagi siapapun untuk menjalankan agama dan kepercayaannya, saya jadi terpikir bagaimana jika kerangka tersebut diletakkan untuk menstrukturkan pemahaman kita tentang pelayanan perkotaan yang baik?
Pada tulisan ini saya akan coba merapikan beberapa pemikiran yang selama ini berantakan dan hanya dipikirkan, tidak tertulis (yang boleh jadi bisa relevan/koheren atau tidak), tetapi setidaknya jadi bisa tercatat. Selamat membaca!
Telaah beberapa Konsep Kunci
Narasi Empat Kebebasan Roosevelt
Januari 1941, Franklin D. Roosevelt menyampaikan The Four Freedom Speech[1] yang memuat:
- Kebebasan berpendapat dan berekspresi (Freedom of speech and expression) dimanapun di dunia
- Kebebasan beragama dan beribadah (Freedom of Worship) menyembah Tuhan menurut ajaran dan tuntunan masing-masing dimanapun di dunia
- Kebebasan dari kekurangan (Freedom from want) dalam bentuk pemahaman ekonomi yang menjamin kehidupan damai, sehat, bagi setiap bangsa dan penduduknya dimanapun di dunia
- Kebebasan dari rasa takut (Freedom from Fear) dalam bentuk pengurangan dan pengendalian persenjataan ke titik dimana tidak ada satupun bangsa di dunia akan berada dalam posisi untuk melakukan aksi agresi fisik terhadap negara tetangganya dimanapun di dunia
Konsep empat kebebasan ini menjadi salah satu komponen penting dalam mukadimah Deklarasi Universal HAM yang ditetapkan oleh PBB[2]. Roosevelt menekankan:
Those, who would give up essential liberty to purchase a little temporary safety, deserve neither liberty nor safety
Meskipun pada praktiknya empat kebebasan ini juga yang menjadi dasar keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia kedua[3]. Lalu apa hubungannya? Secara ilustratif mungkin bisa digambarkan seperti ini:
Konsep Holistik dari Keamanan Manusia
Kata “Keamanan” dalam pikiran kebanyakan dari kita telah mengalami spesialisasi atau penyempitan makna menjadi segala hal yang berbau penegakan hukum, peraturan, pewujudan ketertiban, ketentraman, perlindungan masyarakat, pencegahan kejahatan, polisi, pamong praja, dan lain sebagainya. Padahal menurut laporan IKMI yang dirilis Bappenas 2015[4], sejak 1994 UNDP telah mendefinisikan Keamanan Manusia atau Human Security sebagai:
“first, safety from such chronic threats such as hunger, disease, and repression. And second, it means protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of daily life‐‐‐ whether in homes, in jobs or in communities. Such threats can exist at all levels of national income and development.”[5]
UNDP membagi kelompok dimensi keamanan manusia ke dalam tujuh kategori sebagai berikut:
Dengan paradigma tersebut, sangat kontekstual sekali dengan dunia (dan perkotaan) pasca Covid-19 dimana kita menghadapi baik ancaman kronis seperti kelaparan, penyakit (dan represi di beberapa bagian dunia) maupun disrupsi mendadak terhadap pola kehidupan dalam keseharian.
Hak atas Kota: Levebre dan Harvey
Jika konsep “empat kebebasan” dan “kemanan manusia” sangat individualistik, beda halnya dengan konsep hak atas kota, ide dan slogan yang diajukan Henri Levebre sejak 1968 dalam bukunya Le Droit a la Ville[6]. Hak atas Kota berpangkal pada reaksi terhadap dampak kapitalisme perkotaan yang mengubah kota sebagai komoditas dan menciptakan ketimpangan ruang, mencerabut interaksi sosial, dan menjadikan tata kelola perkotaan sebagai barang ekslusif. Levebre menyerukan sebuah aksi penyelamatan warga sebagai elemen utama dan protagonis dari kota yang mereka bangun sendiri, dan mengubah ruang kota sebagai titik temu untuk membangun kehidupan kolektif.[7]
Levebre merangkum idenya sebagai permintaan atas transformasi dan pembaruan akses pada perikehidupan perkotaan[8]. David Harvey menjelaskannya sebagai berikut:
The right to the city is far more than the individual liberty to access urban resources: it is a right to change ourselves by changing the city. It is, moreover, a common rather than an individual right since this transformation inevitably depends upon the exercise of a collective power to reshape the processes of urbanization. The freedom to make and remake our cities and ourselves is, I want to argue, one of the most precious yet most neglected of our human rights.[9]
Dua refleksi utama dari gagasan Hak atas Kota ini ialah:
- reposisi peran masyarakat yang bukan hanya sebagai “penerima layanan perkotaan” melainkan sebagai “ko-kreator” aktif yang bersama-sama dengan berbagai aktor lainnya melakukan transformasi dan pembaruan akses pada perikehidupan perkotaan yang bermartabat bagi semua
- menggugat kapitalisme dan komodifikasi perkotaan, menuntut keadilan atas ruang, menghidupkan kembali interaksi sosial dan mewujudkan tata kelola perkotaan yang inklusif bagi semua
Prinsip Hak atas Kota ini sejak 2001 telah mengilhami Estatuto da Cidade atau Statuta Perkotaan di Brazil[10] yang menjamin fungsi sosial tanah dan bangunan perkotaan di atas nilai komersialnya (prioritisasi nilai guna di atas nilai tukar) serta pengelolaan perkotaan yang demokratis yang diwujudkan sebagai jalan untuk merencanakan, memproduksi, mengoperasikan, dan mengelola kota berdasarkan partisipasi dan kontrol sosial. Kemudian pada 2016 telah diadopsi oleh UNHabitat sebagai salah satu prinsip utama dalam Agenda Baru Perkotaan (New Urban Agenda).
Pembangunan Berkelanjutan: Keadilan Antargenerasi, Batasan Planeter dan Paradigma Donat
Jika pandangan mengenai empat kebebasan, keamanan manusia, dan hak atas kota ditinjau pada suatu titik tertentu dalam linimasa kehidupan manusia dan planet bumi, maka memastikannya untuk tetap terpenuhi dulu, kini, dan nanti, akan menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi generasi kita dan generasi mendatang. Seperti yang dilaporkan dalam Brundtland Report 1987[11] bahwa Pembangunan Berkelanjutan ialah:
Pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya, mewariskan dunia pada anak cucu dengan kualitas hidup dan peluang pengembangan yang sama dengan atau lebih baik dari yang kita miliki.
Sehingga dengan perspektif pembangunan berkelanjutan keadilan sosial tidak hanya ditinjau antarorang atau antarkelompok pada suatu dimensi waktu tertentu, tetapi keadilan sosial bagi seluruh manusia hari ini dan masa yang akan datang (keadilan antargenerasi). Untuk mendefinisikan ruang yang aman bagi kehidupan kemanusiaan, Johan Rockström dari Stockholm Resilience Centre, Stockholm University mengidentifikasi sembilan batasan planeter[12] yang apabila dilampaui, maka berisiko akan menciptakan perubahan lingkungan skala besar, yang tiba-tiba, atau tidak dapat diubah.
Kesembilan batasan planeter (Planetary Boundaries) adalah sebagai berikut:
- Penipisan Ozon
- Hilangnya integritas Biosfer (Kepunahan dan Kehilangan Keanekaragaman Hayatai)
- Polusi Kimiawi dan Pelepasan Entitas Baru
- Perubahan Iklim
- Asidifikasi (Pengasaman) Laut dan Samudera
- Konsumsi Air Tawar dan Siklus Hidrologi Global
- Perubahan Sistem Lahan
- Aliran Biogeokimiawi (Aliran Nitrogen dan Fosfor ke Biosfer dan Samudera)
- Pemuatan Aerosol di Atmosfer
Dalam konsep Ekonomi Donat yang ditulis oleh Kate Raworth pada 2012 dan disempurnakan dalam bukunya pada tahun 2017[13], beliau mencatat bahwa batasan planeter tidak mempertimbangkan unsur kesejahteraan manusia dalam perhitungannya, karenanya Raworth mengelaborasi lebih lanjut bagaimana pemenuhan 12 kebutuhan dasar bagi kehidupan kemanusiaan harus dipenuhi supaya tidak terjadi shortfall, tetapi tanpa melampaui 9 batasan planeter (overshoot) yang sudah diungkapkan di atas.
Pembangunan Berskala Manusia: Max-Neef
Manfred Max Neef, Ekonom Chili mendefinisikan taksonomi kebutuhan manusia dan proses pendefinisiannya yang tidak otoritatif melainkan kontekstual. Postulat penting dalam Esai Max-Neef tentang Human Scale Development 1989 [14] ialah:
- Pembangunan adalah tentang manusia, bukan tentang objek
- Kebutuhan dasar manusia tidak tak terbatas dan dapat diklasifikasikan
- Kebutuhan dasar manusia sama di seluruh budaya dan sepanjang sejarah. Apa yang berubah seiring waktu dan melalui budaya ialah cara pemenuhan kebutuhan/pemuas kebutuhan (satisfier)
- Antara kebutuhan (needs) dan pemuas (satisfier) bukan merupakan fungsi korespondensi satu-satu, artinya bisa saja suatu pemuas memenuhi beberapa kebutuhan, atau satu kebutuhan dipenuhi oleh beberapa pemuas.
- Hubungan antara kebutuhan dan pemuas tidak pasti/tetap, dapat berubah menurut waktu, tempat, dan keadaan (hal ini dapat menjelaskan mengenai law of diminishing return, kejadian dimana ketika pemuas sudah tidak secara signifikan berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan pada tingkat kejenuhan tertentu)
Max-Neef meyakini bahwa kebutuhan tidak selalu harus dipenuhi sesuai urutan/hierarki kebutuhan yang selama ini populer dikenal melalui karya Maslow. Karena tidak ada yang tahu pasti kapan suatu kebutuhan cukup terpenuhi untuk beranjak pada hierarki kebutuhan selanjutnya? Sebaliknya, kebutuhan manusia harus dipahami sebagai sistem, karena seluruh kebutuhan manusia saling terkait (inter-related & interactive). Simultanitas, komplementaritas dan trade off adalah karakteristik proses pemenuhan kebutuhan.
Pemenuhan kebutuhan dasar manusia menurut Max-Neef merupakan matriks pertemuan antara kebutuhan eksistensial seperti:
- Menjadi (Being)
- Memiliki (Having)
- Melakukan (Doing)
- Perolehan Ruang Interaksi dan Lingkungan Pemampu yang mendukung pelaksanaan kebutuhan (Interacting / Setting)
dengan kebutuhan aksiologikal yang terkait dengan nilai manusia sebagai berikut:
- Subsistence (Subsistensi, mempertahankan dan melangsungkan kehidupan)
- Protection (Perlindungan dan Rasa Aman)
- Affection (Afeksi dan Kasih Sayang)
- Understanding (Pemahaman dan Pengetahuan)
- Participation (Partisipasi dan Keterlibatan)
- Idleness (Waktu Luang, Ketenangan dan Kedamaian)
- Creation (Cipta — logika pemikiran dan daya nalar; Rasa — hati, jiwa, indera; Karsa — keinginan dan niatan kemauan mencipta; Karya — wujud hasil dari yang dikerjakan)
- Identity (Identitas termasuk agama, kelompok, adat, budaya)
- Freedom (Kebebasan dan Kemerdekaan)
Refleksi bagi Transformasi Peradaban Perkotaan
Sesuai dengan Tujuan Negara Indonesia yaitu: (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) Memajukan kesejahteraan umum; (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Maka Peradaban Perkotaan indonesia harus:
- menciptakan Ruang Perkotaan yang Mengayomi (as a spaces) yang tidak hanya memberikan perlindungan bagi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga memberikan perlindungan dan penghormatan atas kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial bagi semua.
- memfasilitasi Urbanisasi yang Menyejahterakan (as a process) yang memastikan kesejahteraan dan kesentosaan masyarakat (citizen’s welfare and well beings) yang bertransisi serta menjalani perikehidupan perkotaan (urban life)
- mendorong Masyarakat Perkotaan yang Bermartabat, Cerdas, dan Berbudaya (as peoples and communities) sehingga dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan peradaban perkotaan secara iteratif dan berkelanjutan untuk penyelesaian permasalahan dan perbaikan menerus
Dengan tujuan seperti di atas, tentunya pemenuhan kebutuhan melalui pelayanan perkotaan dapat didefinisikan sesuai dengan skema di bawah ini:
Sebagai contohnya: Makanan dan Rumah bukanlah kebutuhan dasar, tetapi pemenuhan kebutuhan subsistensi (untuk bertahan hidup) sehingga ragam makanan dan ragam rumah bisa berbeda-beda tergantung budaya. Sekolah atau pendidikan informal/formal itu bukan kebutuhan, tetapi pemenuhan kebutuhan akan pemahaman. Pemberian ASI secara langsung (breastfeeding) contohnya, mungkin menjadi salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan subsistensi, perindungan, kasih sayang, dan identitas sekaligus. Dengan demikian tidak perlu menyeragamkan bagaimana cara kebutuhan dipenuhi/dipuaskan, melainkan yang perlu dikendalikan adalah memastikan bahwa pemenuhan tersebut tidak menjadi violators, pseudo-satisfiers, atau inhibiting satisfiers.
Dari framework ini juga kita bisa lebih bijak memahami berbagai fenomena persoalan yang ada di perkotaan itu sebetulnya adalah patologi atau penyakit yang timbul akibat defisiensi atau kemiskinan-kemiskinan (poverties) dari tidak terpenuhinya suatu atau beberapa kebutuhan. Dengan demikian, penyelesaiannya diharapkan dapat lebih holistik tidak hanya menangani patologinya tetapi juga mencari cara bagaimana dapat mengatasi poverties yang ada dan memenuhi kebutuhan yang belum terpuaskan, sehingga solusinya dapat lebih permanen.
Redefinisi Kelompok Kebutuhan dan Pelayanan Perkotaan dalam Perspektif Aman-Iman-Amin-Eman
Berdasarkan sintesa dari ulasan di atas, berikut usulan pengelompokan kebutuhan pelayanan perkotaan berdasarkan empat kategori: Aman-Iman-Amin-Eman yang dipadankan dengan dimensi dasar eksistensial manusia seperti yang digambarkan dalam skema di bawah:
Aman mencakup berbagai dimensi keamanan manusia yang terdiri atas 12 pondasi sosial dan 9 batasan planeter dalam konsep ekonomi donat
Iman mencakup dimensi spiritual yaitu mewujudkan keselamatan kehidupan dunia dan akhirat (sesuai dengan konsep dan konteks kepercayaan serta agama masing-masing)
Amin mencakup dimensi kesejahteraan moral, material, dan preferensial, pemenuhan kebutuhan yang sesuai dengan kehendak, pilihan, dan prakarsa tiap-tiap individu, masyarakat, atau perkotaan
Eman melingkupi interaksi yang berkualitas (cinta kasih) antarsesama manusia, antara manusia dengan alam, dan antara manusia dengan produk sosialnya: kebudayaan.
Selamat Hari Ulang Tahun ke-77 Republik Indonesia, semoga panjang usiamu menjadi rahmat bagi semesta.
Luthfi Muhamad Iqbal
Groningen, 17 Agustus 2022
[1]”FDR, “The Four Freedoms,” Speech Text |”. Voicesofdemocracy.umd.edu. January 6, 1941. Retrieved August 14, 2014.
[2]White, E.B.; Lerner, Max; Cowley, Malcolm; Niebuhr, Reinhold (1942). The United Nations Fight for the Four Freedoms. Washington, D.C.: Government Printing Office. ASIN B003HKRK80
[3]Bodnar, John, The “Good War” in American Memory. (Maryland: Johns Hopkins University Press, 2010) 11
[4]Bappenas (2015), Pengembangan Konsep Indeks Keamanan Manusia 2015. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas
[5]UNDP, Human Development Report 1994, New York:United Nations Development Programme, 1994, hal. 23
[6]Purcell, Mark (October 2002). “Excavating Lefebvre: The right to the city and its urban politics of the inhabitant”. GeoJournal. 58 (2–3): 99–108. CiteSeerX 10.1.1.357.4200. doi:10.1023/B:GEJO.0000010829.62237.8f. JSTOR 41147756. S2CID 18096395. Pdf.
[7]Swing, Capitán. “El derecho a la ciudad | Capitán Swing”. capitanswing.com (in European Spanish). diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Right_to_the_city
[8]Lefebvre, Henri (1996), “The right to the city”, in Kofman, Eleonore; Lebas, Elizabeth (eds.), Writings on cities, Cambridge, Massachusetts: Wiley-Blackwell, p. 158, ISBN 9780631191889.
[9]Harvey, David (September–October 2008). “The right to the city”. New Left Review. II (53): 23–40.
[10]The City Statute: A Commentary. Sao Paulo, Brazil: Cities Alliance and Ministry of Cities. 2010. p. 120. Archived from the original
[11]”Report of the World Commission on Environment and Development: Our Common Future” (PDF). United Nations.
[12]Rockström, J., W. Steffen, K. Noone, Å. Persson, et.al. 2009. Planetary boundaries:exploring the safe operating space for humanity. Ecology and Society 14(2): 32
[13]Raworth, Kate (2017–05–01). “A Doughnut for the Anthropocene: humanity’s compass in the 21st century”. The Lancet Planetary Health. 1 (2): e48–e49. doi:10.1016/S2542–5196(17)30028–1. ISSN 2542–5196. PMID 29851576.
[14]Max Neef Human Scale Development (1989)” (PDF). Dag Hammarskjöld foundation.