Desentralisasi dan Transformasi Politik Anggaran Pemerintah Daerah

Amatan terhadap Kemajuan Desentralisasi Indonesia 1995–2015

Luthfi Muhamad Iqbal
7 min readOct 24, 2017

Dengan nama Tuhan, Maha Pengasih, Maha Penyayang

Pendahuluan

Demokratisasi dan Desentralisasi merupakan dua dari beberapa tuntutan reformasi 1998, yang mana dipercaya dapat mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya, memperkecil rentang kendali pemerintahan, sehingga proses alokasi anggaran di tingkat pemerintahan otonom terkecil betul-betul menjadi representasi bagi kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing; pembangunan di daerah sesuai dengan potensi serta kebutuhan daerahnya, yang direfleksikan melalui interaksi serta peran serta masyarakat dalam pemerintahan di Daerah. Dalam konsiderans Undang-undang 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah juga dinyatakan bahwa tujuan dari Desentralisasi ialah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Namun apakah kenyataannya demikian?

Dalam kesempatan kali ini penulis hendak mengeksplorasi perubahan belanja Pemerintah Daerah menurut bidang/fungsi pada tahun 1995, 2000, 2005, 2010 dan 2015 berdasarkan tingkat pemerintahan yakni Provinsi, Kabupaten/Kota; serta berdasarkan wilayah regional dalam RPJMN yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku Papua. Metodologi yang digunakan ialah tinjauan pustaka untuk mengidentifikasi klasifikasi belanja dalam APBD serta analisis statistik deskriptif untuk menginterpretasikan data hasil pengolahan.

Dugaan awal penulis ialah bahwa semestinya terjadi perubahan prioritas pemerintah daerah dalam pengalokasian anggaran dalam APBD yang mengarah pada urusan-urusan wajib pelayanan dasar yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah.

Klasifikasi Belanja: Ruang Lingkup, Perubahan dan Ekuivalensinya

Klasifikasi Belanja menurut Fungsi diatur dalam peraturan turunan dari UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yakni PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dibagi menurut urusan pemerintahan (bidang) serta menurut fungsi pengelolaan keuangan negara. Dalam data APBD 1995–2007 rincian belanja disusun menurut urusan pemerintahan (bidang) akan tetapi 2008–2015 rincian belanja disusun menurut fungsi pengelolaan keuangan negara, sehingga perlu ada ekuivalensi untuk membandingkan kecenderungan perubahannya.

Berikut merupakan Ruang Lingkup Klasifikasi Belanja menurut Fungsi dan Sub Fungsinya berdasarkan PMK №112/2015 tentang Klasifikasi Anggaran:

Infografik Pembagian Belanja Daerah menurut Fungsi Pengelolaan Keuangan Negara berdasarkan PMK 112/2015 (Kemenkeu, 2017 — diolah)

Dapat dilihat dari 11 Fungsi terdapat 9 Fungsi yang sesuai dengan kewenangan Daerah karena Belanja Pertahanan dan Belanja Agama merupakan Kewenangan dari Pemerintah Pusat. Disamping itu terdapat beberapa sub-fungsi lainnya yang menurut lampiran UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah merupakan Kewenangan Pemerintah Pusat (yang berhasil diidentifikasi ditandai dengan warna merah).

Akan tetapi karena terdapat perbedaan pengaturan selama masa 1995–2015 maka perlu adanya ekivalensi atau penyetaraan belanja menurut bidang-bidang urusan pemerintahan kedalam standarisasi belanja fungsi pemerintahan sesuai PMK 112/2015 diatas. Sehingga berdasarkan kategorisasi tersebut penulis melakukan penyesuaian nomenklatur sebagai berikut:

Tabel Ekuivalensi Nomenklatur Belanja Sektor — Belanja Bidang terhadap Belanja menurut Fungsi Pengelolaan Keuangan Negara (Kemenkeu, 2017 — diolah)

Penyandingan Belanja Sektor, Belanja Bidang dan Belanja Fungsi diatas merupakan salah satu pendekatan supaya dapat diperiksa bagaimana kecenderungannya dari tahun ke tahun. Tentu memiliki kelemahan karena terdapat beberapa perubahan kelompok belanja yang mungkin akan memengaruhi hasil analisis. Diantaranya: Bidang Pendudukan yang masuk ke dalam fungsi Pelayanan Umum, pada APBD 2005 menjadi bidang tersendiri dan pada APBD 2000 dan 1995 bergabung dalam satu sektor bersama Keluarga Sejahtera, dimana masuk kedalam Belanja Fungsi Perlindungan Sosial. Begitu pula halnya dengan Belanja Ketertiban dan Keamanan yang pada APBD 2005 bergabung dalam Belanja Bidang Administrasi Pemerintahan dan sebagainya.

Analisis Kecenderungan dan Temuan

Dari data yang sudah dikelompokan berdasarkan ekuivalensi belanja fungsi diatas, diperoleh gambaran sebagai berikut:

Proporsi Belanja Total Pemda Se-Indonesia Menurut Fungsi (Hasil Analisis 2017)

Gambaran diatas merupakan Proporsi Belanja menurut Fungsi seluruh Pemerintah Daerah se Indonesia terhadap Total Belanja. Dapat dilihat yang paling mencolok ialah Kecenderungan Penurunan Belanja Ekonomi dengan rata rata sebesar -1.57% per tahun; dan Kecenderungan Kenaikan Belanja Pendidikan dengan rata rata sebesar +0.77% per tahun.

Adapun apabila dibagi menurut tingkatan pemerintahan, dapat diidentifikasi bagaimana Pola Belanja Provinsi dan Belanja Kab/Kota. Untuk belanja Provinsi dapat diperoleh gambaran sebagai berikut:

Proporsi Belanja Total Provinsi Se-Indonesia Menurut Fungsi (Hasil Analisis 2017)

Terdapat kenaikan yang signifikan pada Belanja Pelayanan Umum yakni rata-rata pertumbuhan sebesar +1.21% per tahun. Sedangkan terdapat penurunan Belanja Ekonomi dengan laju rata rata sebesar -1.56% per tahun.

Sedangkan untuk Belanja Kabupaten/Kota terdapat penurunan yang sangat tajam pada Belanja Ekonomi yakni dengan laju rata rata -1.87% per tahun dan kenaikan Belanja Pendidikan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar +1.03% per tahun. Gambaran lebih lengkapnya dapat dilhat pada gambar di bawah ini:

Proporsi Belanja Total Kab/Kota Se-Indonesia Menurut Fungsi (Hasil Analisis 2017)

Pembahasan dan Diskusi

Dari ketiga grafik diatas dapat dilihat bahwa Pertumbuhan Belanja Pelayanan Umum di Pemda Provinsi (+1.21% per tahun) lebih besar dibandingkan Pertumbuhan Belanja Pendidikan di Pemda Kab/Kota (+1.03% per tahun). Belanja Fungsi Kesehatan; Belanja Fungsi Perumahan dan Fasilitas Umum mengalami pertumbuhan cukup berarti baik pada tingkatan Pemda Provinsi maupun Pemda Kab/Kota. Berikut tabel rerata pertumbuhan proporsi belanja daerah menurut fungsi tahunan:

Tabel Rata Rata Pertumbuhan Proporsi Tahunan (Hasil Analisis, 2017)

Berdasarkan data diatas tentu tidak dapat langsung disimpulkan bahwa Perubahan Belanja disebabkan oleh Desentralisasi. Gambaran tersebut hanya menunjukkan bahwa selama Desentralisasi terdapat pergeseran prioritas belanja seperti diatas. Contohnya: apabila kita melihat Belanja Pendidikan misalnya, mulai dari 2005 selalu diatas 20%, karena memang menurut Pasal 31 UUD 1945 hasil Amandemen ke-4 (pada tahun 2002) mengamanatkan besaran belanja pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD.

Kasus lain seperti Belanja Kesehatan, pada tahun 2015 untuk belanja Pemda Kabupaten sebesar 11.76% dan rata-rata total Belanja Pemda sebesar 10.90%, karena pada Pasal 171 UU 36 tahun 2009 mengamanatkan bahwa Belanja Kesehatan minimal sebesar 5% APBN dan 10% APBD.

Pertanyaan selanjutnya: Mengapa Proporsi Belanja Pelayanan Umum di Provinsi melesat sangat tinggi? Barangkali hal ini menunjukkan bahwa pasca Desentralisasi tugas-tugas Pemda Provinsi semakin “administratif”; Sedangkan Kabupaten/Kota banyak mencurahkan belanjanya pada fungsi-fungsi pelayanan dasar seperti Pendidikan dan Kesehatan serta Perumahan dan Fasilitas Umum.

Hal yang pasti dari temuan diatas ialah berkurangnya proporsi Belanja Ekonomi oleh Pemerintah Daerah. Namun tidak jelas apakah pengurangan tersebut menandakan terjadinya serta keberhasilan Desentralisasi Ekonomi di daerah, yakni pelimpahan wewenang dari Pemerintah Daerah kepada aktor non-Pemerintah/swasta dan masyarakat dalam kegiatan Perekonomian Daerah, ataukah keberadaan Dana Transfer ke Daerah yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun yang mana penggunaanya lebih banyak dialokasikan untuk belanja rutin (DAU dan DBH) oleh Daerah serta yang sudah ditentukan peruntukannya dalam peraturan perundang-undangan seperti DAK, Dana Desa, Dana Keistimewaan DIY, Dana Tambahan Infrastruktur Papua dan Papua Barat; seperti gambaran dibawah ini:

Perkembangan Transfer Pusat ke Daerah 2000–2017 (Bappenas, 2017)

Refleksi: Desentralisasi dalam Demokrasi Simbolik

Katanya dengan Desentralisasi (1999) dan Demokratisasi (2004) belanja Pemerintah Daerah yang dipilih langsung oleh rakyat akan lebih mencerminkan kehendak rakyat, lebih cepat dalam mewujudkan pembangunan daerah dan peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan masyarakat; Karena mereka (Pejabat Daerah) tidak hanya harus akuntabel ke atas (kepada Menteri Dalam Negeri selaku Pembina Daerah dan Presiden RI sebagai Kepala Pemerintahan) namun juga harus akuntabel ke bawah, kepada masyarakat yang memilihnya, melalui LKPJ Kepala Daerah kepada DPRD setiap tahunnya. Benarkah?

Pertanyaannya: Telah sejauh mana kita berperan serta? Semahal apa biaya peran serta masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan pembangunan? Apa peran serta masyarakat hanya dilegitimasi dari Pemilu Kepala Daerah secara langsung?

Jadi benar Demokrasi itu memang hanya Kekuasaan belaka (Cratos) apabila kita, sebagai Demos (masyarakat) menghilang; atau sengaja dihilangkan oleh penguasa dari hubungan kuasa — dibuat benci dengan proses yang ada sehingga menjadi jijik menyentuhnya; dibuat bodoh melalui media, atau cara-cara lainnya sehingga berpartisipasi dalam pemerintahan itu merupakan hal yang aneh, boros, lamban, tidak efektif dan tidak efisien sehingga tidak perlu; diatur sedemikian rupa melalui aturan-aturan yang “mengamankan” modal dan kuasa; serta dibuat kagum dengan hal lain yang membuat kita sibuk dan asik sendiri, sehingga tidak mengganggu para penguasa dan pengusaha yang sedang sibuk dan asik sendiri juga mereklamasi teluk utara jakarta #eh?

Right now, entrepreneurs are trying to fix things that aren’t broken. And we can all name a lot of things that are broken: Health care, education, homelessness and poverty, food waste, climate change … need I continue? These aren’t even small market problems. There is so much room for people with good ideas to make change, and probably make some good money while they’re at it.

Public institutions aren’t just funding research into new technologies — they’re also funding decarbonization using existing technologies…

Of course, innovation can help ease and accelerate this process — it can also find ways to scrub centuries of carbon emissions from our atmosphere. In fact, without major technological advances, we are unlikely to keep warming within the 2°C limit. But we’ll never generate those advances if we surrender society’s most important investment decisions to billionaires like Gates

— Kumpulan kutipan tulisan orang lain yang saya kutip ulang dari Facebook nya Radja Polem; Tulisan asli orang tersebut yang saya maksud disini: [https://jacobinmag.com/2017/08/bill-gates-wont-save-us/][https://www.recode.net/2016/10/12/13247774/silicon-valley-entrepreneurs-vision-visionary-elon-musk]

Selamat Malam dan
Turut Berduka Cita atas matinya Demokrasi Indonesia
21 Mei 1998–24 Oktober 2017

Luthfi Muhamad Iqbal

Direktorat Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas

--

--

Luthfi Muhamad Iqbal
Luthfi Muhamad Iqbal

Written by Luthfi Muhamad Iqbal

trying to do something best, not to be someone great

No responses yet