Fixing Indonesian Urban Data

Toward the Future of Evidence-Based Urban Policy

Luthfi Muhamad Iqbal
18 min readFeb 9, 2020
Kota Sabang (Google Earth, 2020)

Awal mula kegelisahan penulis berawal dari sini: sebuah data pemetaan perkotaan per provinsi yang bahkan tidak ditampilkan dalam bentuk Peta. Data tersebut benar-benar membuat penulis ragu, benarkah demikian Perkotaan Indonesia? Kemudian, setelah membaca Laporan Bank Dunia terkait ACT: Realizing Indonesia’s Potential penulis melihat beberapa sumber data perkotaan yang digunakan. Salah satu diantaranya ialah dataset permukiman global atau Global Human Settlement Layers (GHSL), yang dikembangkan oleh Uni Eropa, tepatnya European Commision on Global Human Settlement. Dari data tersebut penulis bertanya:

  1. Apa definisi yang digunakan pada data tersebut? dan Bagaimana metode yang digunakan untuk menghasilkan data tersebut?
  2. Bagaimana penggunaan data tersebut dalam konteks Perkotaan di Indonesia?
  3. Apa temuan yang diperoleh dan Bagaimana Rekomendasi perbaikan pengelolaan data Perkotaan Indonesia ke depan?

GHSL: Mahadata Perkotaan

Bicara mengenai Big Data (Mahadata) dalam konteks perkotaan sebagai pendukung pengambilan keputusan/pembuatan kebijakan seringkali menjadi terbatas karena dikerdilkan hanya sebatas proyek pengadaan perangkat teknologi berbiaya tinggi, persaingan membuat aplikasi atau dashboard, atau analisa sosial media terkait isu perkotaan yang ujung-ujungnya bias pengguna. Padahal ada sumber data terbuka yang bebas biaya, yang dapat dimanfaatkan secara bertanggungjawab. Setidaknya data tersebut dapat menjadi baseline untuk kebutuhan analisa selanjutnya. Dengan demikian tidak semua proses pembangunan basis data harus dilakukan sendiri, atau dimulai dari nol. Juga kita bisa menggeser fokus dari pengumpulan data ke analisa dan pemanfaatan data, sehingga data yang dikumpulkan dapat lebih bermakna bagi pembuatan kebijakan, tidak masuk sampah-keluar sampah (gigo: garbage in-garbage out).

Penulis melihat keberadaan data GHSL sebagai mahadata perkotaan sebab memenuhi aspek 3V yakni volume, velocity, dan variety. Karena GHSL berisi mengenai dataset permukiman global (volume), dengan proses pengolahan yang cepat bersumber dari citra satelit dan penggunaan machine learning (velocity), serta mengandung berbagai variabel data terkait perkotaan seperti lingkungan, sosial ekonomi, pembagian administrasi, ketahanan bencana, dan geografi (variety). Keberadaan GHSL sebagai open data adalah kesempatan bagi kita untuk memperbaiki data perkotaan, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas kebijakan pembangunan dan pengelolaan perkotaan di Indonesia.

Dalam bagian ini penulis akan mengulas definisi serta metodologi untuk menghasilkan dua jenis data paket geografis (geopackage) yaitu GHS-UCDB (Global Human Settlement-Urban Centers Database) dan GHS-FUA (Global Human Settlement-Functional Urban Area)

Definisi Pusat Perkotaan (Urban Centres) dalam GHS-UCDB

Definisi Pusat Perkotaan menggunakan derajat urbanisasi (Degree of Urbanisation) ialah:

Kluster kisi sel 1 km2 berkepadatan tinggi yang berdampingan dengan kepadatan paling sedikit 1.500 penduduk per km2 dan penduduk paling sedikit 50.000 jiwa (Dijkstra & Poelman, 2014)

Dalam pembuatan model permukiman GHSL (GHSL-SMOD: Settlement-Model) definisi tersebut diformulasikan sebagai berikut:

Generalisasi spasial dari kluster kisi sel 1 km2 berkepadatan tinggi yang berdampingan dengan kepadatan paling rendah 1.500 penduduk per km2 lahan atau paling sedikit 50% kawasan terbangun (built-up) per km2 lahan, dan penduduk paling sedikit 50.000 jiwa

Semula derajat urbanisasi didefinisikan berdasarkan jumlah populasi, kepadatan dan perdampingan antar daerah administrasi tingkat 2 (dua) atau kabupaten/kota. Namun metode berdasarkan unit administrasi tersebut seringkali terdistorsi dan kurang dapat dibandingkan satu sama lain terutama apabila ukuran daerah administrasinya berbeda, ada yang besar, ada yang kecil. Masalah yang dikenal sebagai Modifiable Area unit problem (Gehlke & Biehl, 1934), diselesaikan dengan menggunakan kisi populasi (population grid) GHSL (atau kisi populasi resolusi tinggi lainnya).

Ilustrasi lebih jelas mengenai definisi pusat perkotaan, dapat dilihat studi kasus Kota Lima (Peru) pada gambar dibawah:

Sumber: Description of the GHS Urban Centre Database 2015, (Florczyk et. al., 2019)

Definisi Kawasan Perkotaan Fungsional (Functional Urban Area) dalam GHS-FUA

Kawasan Perkotaan Fungsional atau Functional Urban Area (FUA) terdiri atas kota dan wilayah komuting (commuting zone), dimana merepresentasikan wilayah pengaruh perkotaan dalam konteks aliran pasar tenaga kerja (labor market flows). OECD mendefinisikan FUA sebagai:

Gabungan unit administrasi dimana setidaknya 15% penduduk menglaju (commute) ke pusat perkotaan (OECD, 2012)

Sayangnya definisi diatas terbatas pada negara-negara OECD dan bergantung pada batas administrasi daerah serta ketersediaan data komuter antar unit administrasi.

Untuk kepentingan pembandingan statistik dan indikator perkotaan yang memiliki dimensi spasial eksplisit, GHSL, OECD dan DGREGIO mengajukan metode pendugaan jumlah dan luasan FUAs di seluruh dunia. Estimasi ini tidak berdasarkan informasi batas administrasi daerah dan data komuter lokal yang sangat terbatas, melainkan model probabilistik yang diuji dengan informasi FUA aktual yang tersedia dalam data OECD dan data laju komuter. Metode estimasi yang diajukan menghasilkan definisi FUAs berbasis penduduk yang mencakup seluruh dunia, dengan menggunakan kisi sel (grid cells) sebagai spatial building blocks alih-alih mengggunakan data administrasi daerah.

Ilustrasi lebih jelas mengenai definisi kedudukan Urban Centres dan Functional Urban Areas, dapat dilihat studi kasus Kota Rio de Janiero (Brazil) pada gambar dibawah:

Sumber: GHSL-OECD Functional Urban Areas (Schiavina M. et. al, 2019)

Metodologi

Penentuan Urban Centres dan Functional Urban Area dimulai dari pengolahan data satelit, lalu dengan menggunakan metode GHSL dilakukan ekstraksi penetapan kawasan terbangun yang merepresentasikan proporsi luasan area kawasan terbangun (built-up area) per km2. Dari data GHS Built-Up tersebut digunakan untuk mengestimasi kisi populasi (population grid) berdasarkan data sensus yang akurat dengan mengombinasikan data administrasi kependudukan dan data grid GHS Built Up. Hasil pengolahan kedua menjadi GHS-POP. Dari kedua data tersebut dengan menerapkan seperangkat kriteria dan syarat disusunlah pemodelan permukiman sehingga menghasilkan GHS S-MOD (Settlement Model) dengan resolusi 1 km.

Untuk ilustrasi lebih lengkap dengan contoh kasus Kota Madrid (Spanyol) dapat dilihat pada gambar di bawah:

Sumber: Description of the GHS Urban Centre Database 2015, (Florczyk et. al., 2019)

Lalu bagaimana dengan GHS FUA? GHS FUA merupakan hasil klasifikasi otomatis gabungan beberapa data yakni: terkait informasi perkotaan yang diperoleh dari GHS-UCDB, informasi populasi yang diperoleh dari GHS-POP, penghitungan travel time yang diestimasikan dari kisi sel terhadap tepi terdekat pusat perkotaan menggunakan global friction matrix (Weiss et. al., 2018), serta Urban Centre GDP yang diturunkan dari Country GDP per Capita bersumber dari data Bank Dunia.

Skema lengkap keterkaitan GHS-UCDB, GHS-FUA, dan kegunaannya dalam konteks Indonesia untuk menentukan data indikatif kawasan perkotaan nasional disajikan dalam diagram di bawah ini:

Dimodifikasi dari Description of the GHS Urban Centre Database 2015, (Florczyk et. al., 2019) dan GHSL-OECD Functional Urban Areas (Schiavina M. et. al, 2019)

Temuan dan Pembahasan

Berdasarkan data dari atribut tabel GHS FUA dan GHS UCDB, untuk data Indonesia ditemukan terdapat 243 Kawasan Perkotaan Fungsional (Functional Urban Areas/FUAs) yang memiliki wilayah pengaruh perkotaan (commuting zone) dan 347 Pusat Perkotaan (Urban Centres/UCs) termasuk kota-kota yang teridentifikasi memiliki pusat banyak (polycentric city) karena diskontinuitas kawasan terbangun (built up area) sehingga terbaca sebagai lebih dari satu kawasan perkotaan, dengan 2 missing values karena nama kawasan tidak teridentifikasi (not available atau N/A).

Dari data FUAs dan UCs, dapat diidentifikasi beberapa kawasan megapolitan dan metropolitan yang ada di Indonesia. Menurut definisi legal dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, Kawasan Megapolitan adalah:

Kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.

Adapun, Kawasan Metropolitan adalah:

Kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.

Pada bagian ini akan diulas temuan dan pembahasan sistem perkotaan masing-masing wilayah Pulau.

Sistem Perkotaan Jawa-Bali

Dari data GHSL ini kita dapat mengidentifikasi beberapa kawasan perkotaan di Pulau Jawa-Bali sebagai berikut:

A. Sistem Perkotaan Jawa Bagian Barat
Berdasarkan hasil penampalan (overlay) dari GHS-UCDB, GHS-FUA, GADM dan Basemap OSM diperoleh peta di bawah ini:

Peta Perkotaan Jawa Bagian Barat (Hasil Analisis, 2020; Sumber Data: Florczyk et. al., dan Schiavina M. et. al, 2019)

Setelah dilakukan simplifikasi skematik, diperoleh ilustrasi di bawah. Highlight hijau terang menandakan Functional Urban Area dari suatu Metropolitan, sedangkan biru terang menandakan Functional Urban Area yang berdampingan secara menerus (continously contiguous) dengan FUA Metropolitan dan bersifat non-metro. Adapun warna kuning menandakan urban centers yang tidak memiliki commuting zone dan berdampingan secara menerus dengan suatu FUA. Merah menandakan urban centers lain yang tidak berdampingan dan memiliki FUA, sedangkan Oranye menandakan urban centers lain yang tidak berdampingan dan tidak memiliki FUA.

Skema hubungan Sistem Perkotaan Banten-Jakarta-dan Sebagian Jawa Barat, hasil analisa data GHS-UCDB dan GHS-FUA

Dari data di atas, secara administrasi dan berdasarkan urban centres dapat diidentifikasi sebagai berikut:

  • Provinsi Banten terdapat 4 Kawasan Perkotaan Kecil (Mekarsari, Bayah Barat, Kolelet Wetan, dan Talagahiang; 3 Kawasan Perkotaan Sedang (Pandeglang, Rangkasbitung, Mekarsari I dan II); 1 Kawasan Perkotaan Besar (Cilegon) dan 1 Kawasan Perkotaan Metropolitan (Metropolitan Jakarta seksi Serang-Balaraja-Tigaraksa)
  • Provinsi DKI Jakarta 1 Kawasan Perkotaan Metropolitan
  • Provinsi Jawa Barat terdapat 7 Kawasan Perkotaan Kecil (Pinangsambo, Cikalong Kulon, Cimalaka, Sirnajaya, Mandalawangi/Pamengpeuk, Ciwidey, Sukanegla); 16 Kawasan Perkotaan Sedang (Pangandaran, Ciherang/Banjarsari, Banjar, Malangbong, Cikembulan, Cikajang, Sumedang, Ciranjang, Plered, Purwakarta, Subang, Haurgeulis, Sumuradem, Pamanukan, Cikembar, Pelabuhan Ratu); dan 4 Kawasan Metropolitan (Metropolitan Jakarta termasuk Jabodetabek, Karawang-Purwakarta, Sukabumi Raya dan Cianjur Raya, Metropolitan Bandung Raya, Metropolitan Garut, serta Metropolitan Tasikmalaya).

Highlight berwarna hijau terang, yang menandakan terdapat 1 Wilayah Megapolitan yakni: Wilayah Megapolitan Jakarta-Priangan (gabungan antara Wilayah Metropolitan Jakarta, Bandung, Garut, Tasikmalaya) dengan jumlah penduduk 53,7 Juta Jiwa di tahun 2015.

B. Sistem Perkotaan Jawa Bagian Tengah
Berdasarkan hasil penampalan (overlay) dari GHS-UCDB, GHS-FUA, GADM dan Basemap OSM diperoleh peta di bawah ini:

Peta Perkotaan Jawa Bagian Tengah (Hasil Analisis, 2020; Sumber Data: Florczyk et. al., dan Schiavina M. et. al, 2019)

Setelah dilakukan simplifikasi skematik, diperoleh ilustrasi di bawah, dengan keterangan gambar yang sama dengan apa yang telah diulas sebelumnya. Dari skema tersebut, secara administrasi dan berdasarkan urban centres dapat diidentifikasi sebagai berikut:

  • Provinsi Jawa Barat terdapat 4 Kawasan Perkotaan Kecil (Balongan, Longseb, Karangsembung, Karangampel Kidul); 6 Kawasan Perkotaan Sedang (Indramayu, Jatibarang, Arjawinangun, Jatiwangi, Majalengka, Babakan(berbatasan dengan Jawa Tengah)); 1 Kawasan Perkotaan Besar (Kuningan) dan 1 Kawasan Perkotaan Metropolitan (Metropolitan Cirebon)
  • Provinsi DI Yogyakarta 1 Kawasan Perkotaan Kecil (Wonosari); 1 Kawasan Perkotaan Sedang (Wates); dan 1 Kawasan Perkotaan Metropolitan (Metropolitan Yogyakarta)
  • Provinsi Jawa Tengah terdapat 15 Kawasan Perkotaan Kecil (Pedurungan, Paguyangan, Clekatakan, Ajibarang, Klampok, Mandiraja, Maos, Rowosari, Demak, Tayu, Rembang, Cepu (berbatasan dengan Jawa Timur), Combongan, Wonokarto, Majenang); 17 Kawasan Perkotaan Sedang (Babakan (berbatasan dengan Jawa Barat), Pemalang, Panjunan, Wangon, Kroya, Gombong, Kebumen, Purwerejo, Banjarnegara, Wonosobo, Wates, Salatiga, Wonokarto, Sragen, Blora, Juwana, Purwodadi; 2 Kawasan Perkotaan Besar (Cilacap, Temanggung); dan 7 Kawasan Perkotaan Metropolitan (Tegal, Pekalongan, Purwokerto, Semarang, Magelang, Pati, dan Metropolitan Yogyakarta seksi Surakarta-Klaten-Boyolali).
Skema hubungan Sistem Perkotaan Sebagian Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY hasil analisa data GHS-UCDB dan GHS-FUA

Highlight berwarna hijau terang, yang menandakan terdapat 2 Wilayah Megapolitan serta 1 Wilayah Metropolitan: yakni Megapolitan Tegal Raya (gabungan antara Wilayah Metropolitan Cirebon, Tegal, Pekalongan) dengan jumlah penduduk 7,71 Juta Jiwa (2015); serta Megapolitan Joglosemar (gabungan antara Wilayah Metropolitan Yogyakarta-Solo, Semarang, Magelang, Temanggung, Pati) dengan jumlah penduduk 15,98 Juta Jiwa (2015); dan Metropolitan Purwokerto Raya dengan jumlah penduduk 3,05 Juta Jiwa (2015).

C. Sistem Perkotaan Jawa Bagian Timur — Bali
Berdasarkan hasil penampalan (overlay) dari GHS-UCDB, GHS-FUA, GADM dan Basemap OSM diperoleh peta di bawah ini:

Peta Perkotaan Jawa Bagian Timur dan Bali (Hasil Analisis, 2020; Sumber Data: Florczyk et. al., dan Schiavina M. et. al, 2019)

Setelah dilakukan simplifikasi skematik, diperoleh ilustrasi di bawah, dengan keterangan gambar yang sama dengan apa yang telah diulas sebelumnya. Legenda tambahan yaitu garis putus-putus menandakan hubungan antara kawasan perkotaan dipisahkan oleh badan air (laut/selat). Dari skema tersebut, secara administrasi dan berdasarkan urban centres dapat diidentifikasi sebagai berikut:

  • Provinsi Jawa Timur terdapat 21 Kawasan Perkotaan Kecil (Babat, Sukoanyar, Lamongan, Ngawi, Perak, Jetis, Josari, Slorok, Sukorejo, Tambakrejo, Mulyorejo, Sumberwetan, Kraksaan, Besuki, Pasirian, Pandanwangi, Asembagus, Sembulung, Genteng, Banyuates dan Langkap); 25 Kawasan Perkotaan Sedang (Tuban, Bojonegoro, Gresik, Kamal, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Pacitan, Trenggalek, Kediri, Kertasono, Nganjuk, Pare, Kunjang, Gembongan, Blitar, Tegalsari, Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, Paiton, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Muncar); 5 Kawasan Perkotaan Besar (Sumenep, Mojokerto, Jombang, Madiun, Tulungagung) dan 2 Kawasan Perkotaan Metropolitan (Metropolitan Surabaya dan Metropolitan Jember)
  • Provinsi Bali 2 Kawasan Perkotaan Kecil (Seririt, Semarapura); 4 Kawasan Perkotaan Sedang (Singaraja, Karangasem, Tabanan, Negara); dan 1 Kawasan Perkotaan Metropolitan (Metropolitan Denpasar, termasuk Gianyar dan Badung)
Skema hubungan Sistem Perkotaan Jawa Timur dan Bali hasil analisa data GHS-UCDB dan GHS-FUA

Highlight berwarna hijau terang, yang menandakan terdapat 1 Wilayah Megapolitan serta 3 Wilayah Metropolitan: yakni Megapolitan Surabaya (gabungan antara Wilayah Metropolitan Surabaya (termasuk Malang, Batu dan Sidoarjo), Mojokerto, Jombang (termasuk Kediri, Pare, Nganjuk dan Blitar)) dengan jumlah penduduk 16,29 Juta Jiwa (2015); serta Metropolitan Madiun Raya dengan jumlah penduduk 1,68 Juta (2015); Metropolitan Jember Raya dengan jumlah penduduk 2,04 Juta (2015); dan Metropolitan Denpasar Raya dengan jumlah penduduk 2,48 Juta (2015).

Sistem Perkotaan Nusa Tenggara

Dari data GHSL ini kita dapat mengidentifikasi beberapa kawasan perkotaan di Kepulauan Nusa Tenggara sebagai berikut:

Peta Perkotaan Nusa Tenggara (Hasil Analisis, 2020; Sumber Data: Florczyk et. al., dan Schiavina M. et. al, 2019)

Setelah dilakukan simplifikasi skematik, diperoleh ilustrasi di bawah, dengan keterangan gambar yang sama dengan apa yang telah diulas sebelumnya. Legenda tambahan yaitu garis putus-putus menandakan hubungan antara kawasan perkotaan dipisahkan oleh badan air (laut/selat). Dari skema tersebut, secara administrasi dan berdasarkan urban centres dapat diidentifikasi sebagai berikut:

  • Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat 3 Kawasan Perkotaan Kecil (Kopang, Bolo/Kota Sila, dan Sape); 6 Kawasan Perkotaan Sedang (Praya, Wanasaba, Selong, Sumbawa, Dompu, Bima); 2 Kawasan Perkotaan Besar (Mataram dan Selong Raya) dan 1 Kawasan Perkotaan Metropolitan (Mataram Raya)
  • Provinsi Nusa Tenggara Timur terdapat 4 Kawasan Perkotaan Kecil (Waikabubak, Borong, Bajawa, Larantuka) ; 9 Kawasan Perkotaan Sedang (Labuan Bajo, Ruteng, Tambolaka, Waingapu, Ende, Maumere, Kalabahi, Atambua, dan Kupang)
Skema hubungan Sistem Perkotaan Nusa Tenggara hasil analisa data GHS-UCDB dan GHS-FUA

Highlight berwarna hijau terang, yang menandakan terdapat 1 Wilayah Metropolitan yakni Metropolitan Mataram Raya dengan jumlah penduduk 1,29 Juta Jiwa (2015). Akan tetapi apabila dilihat secara berkesinambungan, kawasan perkotaan di Pulau Lombok sebenarnya membentuk sebuah konurbasi perkotaan yang terdiri dari Mataram Raya, Praya, Kopang dan Selong Raya dengan jumlah penduduk 2,45 Juta Jiwa (2015). Bila Kopang masuk ke dalam zona komuter Selong Raya dan berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa; Praya masuk ke dalam zona komuter Mataram Raya, maka konurbasi tersebut akan membentuk sebuah Megapolitan Mataram-Selong.

Secara umum, selain di Lombok, kawasan perkotaan di Nusa Tenggara lainnya bersifat linear. Sumbawa, Sumba, Flores, Timor memiliki karakteristik perkotaan yang serupa, yakni terdiri atas perkotaan sedang dan kecil yang tersebar di pesisir-pesisir (coastal cities) serta beberapa pedalaman (inland cities) yang menjadi hub.

Sistem Perkotaan Kalimantan

Dari data GHSL ini kita dapat mengidentifikasi beberapa kawasan perkotaan di Wilayah Pulau Kalimantan sebagai berikut:

Peta Perkotaan Kalimantan (Hasil Analisis, 2020; Sumber Data: Florczyk et. al., dan Schiavina M. et. al, 2019)

Setelah dilakukan simplifikasi skematik, diperoleh ilustrasi di bawah, dengan keterangan gambar yang sama dengan apa yang telah diulas sebelumnya. Dari skema tersebut, secara administrasi dan berdasarkan urban centres dapat diidentifikasi sebagai berikut:

  • Provinsi Kalimantan Barat terdapat 3 Kawasan Perkotaan Kecil (Bengkayang, Sanggau, Sekadau); 7 Kawasan Perkotaan Sedang (Sambas, Singkawang, Ngabang, Sintang, Nanga Pinoh, Putussibau, dan Ketapang); 1 Kawasan Perkotaan Besar (Pontianak)
  • Provinsi Kalimantan Tengah 6 Kawasan Perkotaan Kecil (Kumai, Jakatan Raya, Muara Teweh, Pangkalan Bun, Palangkaraya dan Tangkiling); 2 Kawasan Perkotaan Sedang (Kuala Kapuas dan Sampit)
  • Provinsi Kalimantan Selatan terdapat 6 Kawasan Perkotaan Kecil (Pelaihari, Batulicin, Marabahan, Tanjung, Barabai, Kandangan); 3 Kawasan Perkotaan Sedang (Amuntai, Banjarbaru, Kotabaru); 1 Kawasan Perkotaan Besar (Banjarmasin)
  • Provinsi Kalimantan Timur terdapat 3 Kawasan Perkotaan Kecil (Tana Paser, Bontang, Lok Tuan); 3 Kawasan Perkotaan Sedang (Tanjung Redeb, Sanggata, Tenggarong; 2 Kawasan Perkotaan Besar (Samarinda dan Balikpapan).
  • Provinsi Kalimantan Utara terdapat 2 Kawasan Perkotaan Kecil (Tanjungselor dan Nunukan); dan 1 Kawasan Perkotaan Sedang (Tarakan).
Skema hubungan Sistem Perkotaan Kalimantan hasil analisa data GHS-UCDB dan GHS-FUA

Highlight berwarna hijau terang, yang menandakan terdapat 2 Wilayah Metropolitan yakni Metropolitan Banjarmasin Raya dengan jumlah penduduk 1,36 Juta Jiwa (2015) terdiri atas kawasan perkotaan besar Banjarmasin dan kawasan perkotaan sedang Banjarbaru; serta Metropolitan Samarinda Raya dengan jumlah penduduk 1,11 Juta Jiwa (2015) yang memiliki single urban center yakni kawasan perkotaan besar Samarinda. Beberapa temuan lain ialah, ditemukan kota-kota yang secara administrasi merupakan satu kota yakni urban centre Tangkiling dan Palangkaraya adalah bagian dari Kota Palangkaraya, urban centre Bontang dan Lok Tuan adalah bagian dari Kota Bontang.

Sistem Perkotaan Sulawesi

Dari data GHSL ini kita dapat mengidentifikasi beberapa kawasan perkotaan di Wilayah Pulau Sulawesi sebagai berikut:

Peta Perkotaan Sulawesi (Hasil Analisis, 2020; Sumber Data: Florczyk et. al., dan Schiavina M. et. al, 2019)

Setelah dilakukan simplifikasi skematik, diperoleh ilustrasi di bawah, dengan keterangan gambar yang sama dengan apa yang telah diulas sebelumnya. Dari skema tersebut, secara administrasi dan berdasarkan urban centres dapat diidentifikasi sebagai berikut:

  • Provinsi Sulawesi Utara terdapat 2 Kawasan Perkotaan Kecil (Tomohon, Tondano); 3 Kawasan Perkotaan Sedang (Manado, Bitung, Kotamobagu)
  • Provinsi Gorontalo terdapat 1 Kawasan Perkotaan Kecil (Limboto) dan 1 Kawasan Perkotaan Sedang (Gorontalo) yang membentuk sebuah Kawasan Perkotaan Besar (Gorontalo Raya)
  • Provinsi Sulawesi Tengah terdapat 2 Kawasan Perkotaan Kecil (Buol, Parigi); 7 Kawasan Perkotaan Sedang (Tolitoli, Lambagu, Palu, Baliase, Poso, Ampana, dan Luwuk)
  • Provinsi Sulawesi Barat terdapat 6 Kawasan Perkotaan Kecil (Pasangkayu, Mamasa, Majene, Sidorejo, Takatidung, Polewali); 2 Kawasan Perkotaan Sedang (Mamuju dan Polewali Raya yang merupakan gabungan dari Takatidung dan Polewali);
  • Provinsi Sulawesi Selatan terdapat 7 Kawasan Perkotaan Kecil (Masamba, Belopa, Enrekang, Pinrang, Sidenreng, Patallasang, Bantaeng); 9 Kawasan Perkotaan Sedang (Palopo, Rantepao, Makale, Sengkang, Pare pare, Watampone, Balangnipa, Pangkajene, Bulukumba); 1 Kawasan Perkotaan Metropolitan (Makassar Raya)
  • Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat 2 Kawasan Perkotaan Kecil (Unaaha, Rumbia); 4 Kawasan Perkotaan Sedang (Kendari, Kolaka, Raha, Baubau)
Skema hubungan Sistem Perkotaan Sulawesi hasil analisa data GHS-UCDB dan GHS-FUA

Highlight berwarna hijau terang, yang menandakan terdapat 1 Wilayah Metropolitan yakni Metropolitan Makassar Raya dengan jumlah penduduk 2,51 Juta Jiwa (2015).

Sistem Perkotaan Maluku-Papua

Dari data GHSL ini kita dapat mengidentifikasi beberapa kawasan perkotaan di Wilayah Pulau Sulawesi sebagai berikut (tidak terlalu terlihat karena ukuran perkotaan relatif kecil dan sedikit untuk skala peta sebesar di bawah):

Peta Perkotaan Maluku-Papua (Hasil Analisis, 2020; Sumber Data: Florczyk et. al., dan Schiavina M. et. al, 2019)

Setelah dilakukan simplifikasi skematik, diperoleh ilustrasi di bawah, dengan keterangan gambar yang sama dengan apa yang telah diulas sebelumnya. Dari skema tersebut, secara administrasi dan berdasarkan urban centres dapat diidentifikasi sebagai berikut:

  • Provinsi Maluku Utara terdapat 1 Kawasan Perkotaan Kecil (Tobelo); 1 Kawasan Perkotaan Sedang (Ternate)
  • Provinsi Maluku terdapat 2 Kawasan Perkotaan Kecil (Halong dan Tual) dan 3 Kawasan Perkotaan Sedang (Ambon, Kei Rijali, Masohi), Halong, Ambon dan Kei Rijali membentuk Kawasan Perkotaan Ambon Raya yang terklasifikasi juga sebagai Kawasan Perkotaan Sedang
  • Provinsi Papua Barat terdapat 1 Kawasan Perkotaan Kecil (Fakfak); 2 Kawasan Perkotaan Sedang (Sorong dan Manokwari)
  • Provinsi Papua terdapat 9 Kawasan Perkotaan Kecil (Serui, Moanemani, Waghete Tigi, Ilaga, Mulia, Wamena, Kotaraja, Oksibil, Asikie); 9 Kawasan Perkotaan Sedang (Biak, Nabire, Sentani, Jayapura, Elelim, Tiom, Enarotali, Timika, Merauke)
Skema hubungan Sistem Perkotaan Maluku — Papua hasil analisa data GHS-UCDB dan GHS-FUA

Wilayah Pulau Maluku-Papua tidak memiliki Kawasan Metropolitan maupun Megapolitan. Namun terdapat beberapa temuan menarik pada kota-kota di pegunungan tengah Papua, karena jumlah penduduk yang tertera hasil estimasi penduduk berdasarkan pendugaan built up area pada GHS-UCDB terindikasi overestimate. Boleh jadi secara riil, kota-kota kecil tersebut memiliki penduduk dibawah 50.000 jiwa sehingga tereliminasi dari Urban Center Database (UCDB).

Sistem Perkotaan Sumatera

A. Sistem Perkotaan Sumatera Bagian Utara
Berdasarkan hasil penampalan (overlay) dari GHS-UCDB, GHS-FUA, GADM dan Basemap OSM diperoleh peta di bawah ini:

Peta Perkotaan Sumatera Bagian Utara(Hasil Analisis, 2020; Data: Florczyk et. al., dan Schiavina M. et. al, 2019)

Setelah dilakukan simplifikasi skematik, diperoleh ilustrasi di bawah, dengan keterangan gambar yang sama dengan apa yang telah diulas sebelumnya. Dari skema tersebut, secara administrasi dan berdasarkan urban centres dapat diidentifikasi sebagai berikut:

  • Provinsi Aceh terdapat 7 Kawasan Perkotaan Kecil (Meulaboh, Sigli, Pinang Siri Bee, Uteun Geulinggang, Lhokseumauwe, Murong, Karangbaru); 3 Kawasan Perkotaan Sedang (Banda Aceh, Bireuen, Langsa)
  • Provinsi Sumatera Utara terdapat 10 Kawasan Perkotaan Kecil (Pangkalan Brandan, Stabat, Kabanjahe, Sidikalang, Tarutung, Sibolga, Lahewa, Telukdalam, Gunungtua, Kuala Tanjung); 10 Kawasan Perkotaan Sedang (Lubukpakam, Tebingtinggi, Kisaran, Tanjungbalai, Pematangsiantar, Rantauprapat, Padangsidempuan, Pandan, Panyabungan, Gunungsitoli); dan 1 Kawasan Perkotaan Metropolitan (Medan, termasuk Binjai dan Deli Serdang)
  • Provinsi Sumatera Barat terdapat 7 Kawasan Perkotaan Kecil (Lansek Kadok, Simpang Ampek, Pariaman, Payakumbuh, Batusangkar, Solok, Alahan Panjang); 1 Kawasan Perkotaan Sedang (Bukittinggi); dan 1 Kawasan Perkotaan Besar (Padang) yang membentuk Wilayah Metropolitan distrik tunggal dengan sekitarnya (Padang Raya)
  • Provinsi Riau terdapat 10 Kawasan Perkotaan Kecil (Baganbatu, Bagansiapi-api, Bengkalis, Selatpanjang, Perawang, Pangkalan Kerinci, Teluk Kuantan, Bangkinang, Ujungbatu, Pasir Pengaraian); 3 Kawasan Perkotaan Sedang (Tembilahan, Duri, Dumai); dan 1 Kawasan Perkotaan Besar (Pekanbaru) yang membentuk Wilayah Metropolitan distrik tunggal dengan sekitarnya (Pekanbaru Raya)
  • Provinsi Kepulauan Riau terdapat 2 Kawasan Perkotaan Kecil (Pengujan, Tanjungpinang); 1 Kawasan Perkotaan Sedang (Tanjung Balai Karimun); 1 Kawasan Perkotaan Besar (Batam) yang membentuk Wilayah Metropolitan distrik tunggal dengan sekitarnya (Batam Raya)
Skema hubungan Sistem Perkotaan Sumatera Bagian Utara hasil analisa data GHS-UCDB dan GHS-FUA

Highlight berwarna hijau terang, yang menandakan terdapat 4 Wilayah Metropolitan, 1 Wilayah Metropolitan memiliki kota inti berupa Kawasan Perkotaan Metropolitan yakni Metropolitan Medan Raya dengan jumlah penduduk 4,55 Juta Jiwa (2015); sedangkan 3 Wilayah Metropolitan lainnya memiliki kota inti berupa Kawasan Perkotaan Besar yakni Metropolitan Padang Raya dengan penduduk 1,03 Juta Jiwa; Metropolitan Pekanbaru Raya dengan penduduk 1,09 Juta Jiwa; dan Metropolitan Batam Raya dengan penduduk 1,03 Juta Jiwa.

Beberapa kota yang secara administrasi sebagai daerah otonom, tidak teridentifikasi memiliki urban centres menurut GHS-UCDB diantaranya Sabang, Subulussalam, Sawahlunto, Padangpanjang,

B. Sistem Perkotaan Sumatera Bagian Selatan
Berdasarkan hasil penampalan (overlay) dari GHS-UCDB, GHS-FUA, GADM dan Basemap OSM diperoleh peta di bawah ini:

Peta Perkotaan Sumatera Bagian Selatan (Hasil Analisis, 2020; Data: Florczyk et. al., & Schiavina M. et. al, 2019)

Setelah dilakukan simplifikasi skematik, diperoleh ilustrasi di bawah, dengan keterangan gambar yang sama dengan apa yang telah diulas sebelumnya. Dari skema tersebut, secara administrasi dan berdasarkan urban centres dapat diidentifikasi sebagai berikut:

  • Provinsi Jambi terdapat 5 Kawasan Perkotaan Kecil (Kuala Tungkal, Muara Bulian, Sarolangun, Bangko, Semurup); 1 Kawasan Perkotaan Sedang (Muara Bungo); dan 1 Kawasan Perkotaan Besar (Jambi)
  • Provinsi Sumatera Selatan terdapat 7 Kawasan Perkotaan Kecil (Tanjungpering, Indralaya, Muara Enim, Pagaralam, Baturaja, Sidogede, Tebingsuluh); 4 Kawasan Perkotaan Sedang (Lubuklinggau, Lahat, Tanjungenim, Prabumulih); dan 1 Kawasan Perkotaan Metropolitan (Palembang)
  • Provinsi Bangka Belitung terdapat 2 Kawasan Perkotaan Kecil (Muntok dan Tanjungpandan); serta 2 Kawasan Perkotaan Sedang (Pangkalpinang, Toboali)
  • Provinsi Bengkulu terdapat 2 Kawasan Perkotaan Kecil (Argamakmur, Manna); 2 Kawasan Perkotaan Sedang (Curup, Bengkulu)
  • Provinsi Lampung terdapat 5 Kawasan Perkotaan Kecil (Liwa, Kalibening, Gedongtataan, Kalianda, Kedungringin); 6 Kawasan Perkotaan Sedang (Pringsewu, Tanjungsari, Metro, Kota Gajah, Gunungsugih, Kotabumi); 1 Kawasan Perkotaan Metropolitan yakni Bandarlampung.
Skema hubungan Sistem Perkotaan Sumatera Bagian Selatan hasil analisa data GHS-UCDB dan GHS-FUA

Highlight berwarna hijau terang, yang menandakan terdapat 2 Wilayah Metropolitan, yakni Metropolitan Palembang Raya dengan jumlah penduduk 2,01 Juta Jiwa (2015) dan Metropolitan Bandarlampung Raya dengan penduduk 1,09 Juta Jiwa (2015).

Simpulan dan Rekomendasi

Temuan di atas tentu sedikit banyak akan mendisrupsi kebijakan terkait dengan Perkotaan, termasuk dari hulu-nya yakni definisi mengenai perkotaan itu sendiri, serta bagaimana kita memprediksi, mengantisipasi, merencanakan, mengarahkan pengembangan perkotaan ke depan.

Dari data tersebut, definisi-definisi legal perkotaan yang selama ini tertuang dalam regulasi seperti megapolitan (sebagai gabungan dari 2 metro atau lebih), metropolitan (kawasan perkotaan berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa), kawasan perkotaan di lebih dari dua daerah kabupaten/kota/provinsi, kawasan perkotaan di dalam kabupaten, akan muncul berbentuk, dan otomatis membutuhkan arah kebijakan pengelolaan yang tepat. Termasuk daerah mana yang harus bekerjasama dengan siapa dalam mengelola perkotaan.

Dari data ini juga, kita dihadapkan pada fakta mengenai beberapa daerah kota yang bahkan secara built up area dan penduduk yang bermukim di area yang terkategori urban kurang dari 50.000 jiwa sebagaimana diamanatkan oleh UU Penataan Ruang dan metodologi UCDB: (Sabang, Subulussalam, Tidore Kepulauan, Sawahlunto, Padangpanjang) serta berbagai kawasan perkotaan yang ditetapkan sebagai PKW/PKL karena menyandang status ibu kota kabupaten, namun tidak memenuhi kriteria pada UCDB (minimum built up 50% per grid dan total penduduk minimum 50.000) maupun definisi legal dalam UUPR yakni batas bawah 50.000 untuk kawasan perkotaan kecil.

Sumber: Hannah & Rosers (2020)

Atau memang kita perlu mendefinisikan ulang kawasan perkotaan beserta trayektorinya dari mulai unit fungsional yang terkecil (apa padanan yang tepat untuk urban commune? atau town? atau district municipality? ketika kota adalah city) hingga (misal) megapolitan, secara harmonis, dan resmi. Berbagai negara di belahan dunia memiliki batas populasi yang berbeda-beda untuk menunjuk suatu lokasi disebut perkotaan atau bukan perkotaan, dari mulai 250, 500, 1000, 2000, 5000, 10000, 20000, 50000. Berapa yang paling tepat untuk Indonesia? apa alasan penetapannya?

Setelah definisi ditentukan, memiliki data pasti mengenai kawasan perkotaan beserta atribut yang melekat pada entitas tersebut, sangatlah penting. Dimulai dari (saya belum tahu ini sudah ada apa belum) blok sensus yang bersifat grid (misal 1 km x 1 km), berisi data penduduk dan atribut yang dibutuhkan seperti kondisi built-up area dan atribut lainnya, sehingga akan menjadi lebih comparable mengingat ukuran administrasi kab/kota, bahkan hingga desa berbeda-beda untuk masing-masing provinsi.

Barulah dari sini kita bisa mengukur dan membandingkan kinerja antar kawasan perkotaan (TPB-11/SDGs, Agenda Perkotaan Baru/NUA, atau bermacam indeks lainnya); merumuskan bagaimana strategi dan arah kebijakan yang tepat untuk menyongsong era urbanisasi planeter; bagaimana peran kawasan perkotaan dalam mengatasi ketimpangan timur barat dan meningkatkan produktivitas, menurunkan kemiskinan, mempromosikan inklusivitas.

Dari sini juga kita pada akhirnya dapat memahami data 72.81% penduduk urban Indonesia di 2050 yang selalu disorot, tentu bukan hanya di 98 kota sebagai daerah yang jumlah penduduknya meledak menjadi sebanyak itu, melainkan di kota-kota yang selama ini tidak pernah kita anggap sebagai “kota” atau “kawasan perkotaan” secara resmi, tidak pernah kita atribusikan tipologinya sebagai kawasan perkotaan dengan skala apa.

Membangun kesepahaman, pemahaman itu penting dalam pembentukan kebijakan yang berkualitas. Kebijakan yang tidak didasari ilmu (evidence based policy), tidak akan ada yang mengimani (no one will follow the policy), apalagi yang mengamalkan (or act upon that policy). Ilmu -> Iman -> Amal.

“Understanding Precedes Action”
- Urban Observatory

Masa depan kebijakan yang berkualitas baik, dimulai dari data yang baik.

Luthfi Muhamad Iqbal

Staf Direktorat Perkotaan Perumahan Permukiman, Bappenas

Referensi

Dijkstra, L. and H. Poelman. 2014. A Harmonised Definition of Cities and Rural Areas: The New Degree of Urbanisation. Working Papers, Regional Working Paper 2014. http://ec .europa.eu/regional_policy/en/information/publications/workingpapers/2014/a-harmonised-definition-of-cities-and-rural-areas-the-new-degreeof-urbanisation.

European Commission, Joint Research Centre, Atlas of the Human Planet 2018 — A World of Cities, EUR 29497 EN, European Commission, Luxembourg, 2018, ISBN 978–92–79- 98185–2, doi:10.2760/124503, JRC114316.

Florczyk, A.J., Melchiorri, M., Corbane, C., Schiavina, M., Maffenini, M., P e saresi , M., Politis, P., Sabo, S., Freire, S., Ehrlich, D., Kemper, T., Tommasi, P., Airaghi, D. and L. Zanchetta, Description of the GHS Urban Centre Database 2015, Public Release 2019, Version 1.0, Publications Office of the European Union, Luxembourg, 2019, ISBN 978–92–79–99753–2, doi:10.2760/037310, JRC115586.

Gehlke, C. E. and K. Biehl. 1934. Certain Effects of Grouping Upon the Size of the Correlation Coefficient in Census Tract Material. Journal of the American Statistical Association 29 (185):169. https://doi.org/10.2307/2277827.

Hannah Ritchie and Max Roser (2020) — “Urbanization”. Published online at OurWorldInData.org. Retrieved from: ‘https://ourworldindata.org/urbanization' [Online Resource]

Moreno-Monroy, Ana; Schiavina, Marcello; Veneri, Paolo (submitted). Metropolitan areas in the world. Delineation and population trends. Journal of Urban Economics. DOI: under release, updated on: http://ghsl.jrc.ec.europa.eu/documents/GHSL_FUA_2019.pdf

Schiavina M., Moreno-Monroy A., Maffenini L., Veneri P., GHSL-OECD Functional Urban Areas 2019, EUR 30001 EN, Publications Office of the European Union, Luxembourg, 2019, ISBN 978–92–76–11258–7, doi:10.2760/67415, JRC 118845

--

--

Luthfi Muhamad Iqbal
Luthfi Muhamad Iqbal

Written by Luthfi Muhamad Iqbal

trying to do something best, not to be someone great

Responses (1)