Kebijakan Otonomi Khusus Daerah Kepulauan & Dana Khusus Kepulauan

Mengurangi, atau Memperlebar Kesenjangan?

Luthfi Muhamad Iqbal
9 min readNov 30, 2018
Photo by Tirachard Kumtanom from Pexels

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Mengenal Daerah Kepulauan

DPD RI telah mengusulkan draf rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Kepulauan kepada DPR RI. Dua isu utama dalam pembahasan RUU ini ialah perluasan kewenangan konkuren pemerintah daerah dan Dana Khusus Kepulauan [1]. Dasar dari pengusulan ini ialah supaya terdapat “Otonomi Khusus” bagi Daerah Kepulauan dalam rangka penguatan NKRI, pertumbuhan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.

Telaah Definisi Daerah Kepulauan

Secara definisi, dalam draf RUU tentang Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan[2], yang dimaksud dengan Daerah Kepulauan adalah:

Provinsi kepulauan yang memiliki wilayah laut lebih luas dari wilayah darat, yang di dalamnya terdapat pulau-pulau termasuk bagian pulau yang membentuk gugusan pulau, menjadi satu kesatuan geografi, ekonomi, politik dan sosial budaya. — Pasal 1 angka 3, Bab I Ketentuan Umum

Dari definisi diatas, dapat dipahami bahwa ruang lingkup yang diatur pada UU ini ialah Provinsi Kepulauan. Sehingga apabila terdapat Kab/Kota yang memiliki wilayah laut lebih luas dari wilayah darat, namun diluar Provinsi Kepulauan, tidak termasuk Daerah Kepulauan. Sebaliknya, Daerah Kab/Kota yang memiliki wilayah darat lebih luas dari wilayah darat di Provinsi Kepulauan, menurut definisi tersebut, masuk kedalam lingkup Daerah Kepulauan.

Mengingat kewenangan atas laut sudah ditarik ke Pemerintah Provinsi, pasca pemberlakuan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga “laut” pada daerah kabupaten kepulauan (luas wilayah laut lebih besar dari wilayah darat) menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, bukan Kabupaten/Kota, dan menjadi masuk akal apabila Definisi Daerah Kepulauan diberikan hanya untuk Pemerintah Provinsi, secara administratif. Namun sesuaikah dengan kebutuhan dan keadaan yang sebenarnya?

Daerah Kepulauan Anggota BKSDK*

Pada saat ini, pihak yang vokal dalam mengawal dalam mengawal RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan ialah 8 Provinsi yang tergabung kedalam *BKSDK (Badan Kerja Sama Daerah Kepulauan). Provinsi tersebut ialah: Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, NTB, NTT, Maluku dan Maluku Utara [3].

Delapan Provinsi Anggota BKSDK (Sumber: Highcharts, Diolah)

Daerah Kepulauan berdasarkan Luas Wilayah

Akan tetapi bila diukur secara teknokratis, berdasarkan penjelasan dalam draf RUU Percepatan Pembangunan Kepulauan, bahwa salah satu karakteristik geografis Daerah Kepulauan ialah wilayah laut lebih besar dari wilayah darat (tipologi akuatik-terestrial). Sehingga sebenarnya tidak hanya 8 Provinsi yang masuk kedalam tipologi tersebut, melainkan 16 Provinsi, atau 47.06% dari total Provinsi se-Indonesia, atau hampir setengahnya. Maka, masihkah Daerah Kepulauan itu memerlukan “kekhususan”?

Provinsi berdasarkan Luas Wilayah, Tipologi dan Keanggotaan BKSDK (Sumber: DJPK Kemenkeu 2018 — Diolah)

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa 8 Provinsi yang menginisiasi Badan Kerja Sama Daerah Kepulauan, ternyata tidak semata-mata luas wilayah lautnya lebih besar dari luas wilayah darat. Terbukti dari data diatas, sebanyak 8 Provinsi lain yang juga lebih dari 50% Daerahnya merupakan wilayah laut, semestinya terklasifikasi sebagai Daerah Kepulauan.

Enam Belas Provinsi Berciri Kepulauan menurut Luas Wilayah (Sumber: Highcharts, Diolah)

Daerah Kepulauan berdasarkan Jumlah Pulau

Persoalan lain, apabila diambil dari sudut pandang “Keberadaan Pulau/ Gugus Pulau” yang ada untuk dikelola oleh Pemerintah Provinsi, berdasarkan jumlahnya, maka penampilannya akan berbeda pula.

Provinsi berdasarkan Jumlah Pulau, Tipologi Geografi dan Keanggotaan BKSDK (Sumber: Nomor.net— Diolah)

Misalnya: Provinsi Papua, sebagai Daerah yang bertipologi Terrestrial Aquatic (wilayah darat lebih luas dari wilayah laut), memiliki 615 Pulau [5]. Papua Barat yang memiliki 3682 Pulau, tidak termasuk anggota BKSDK. Sulawesi Tengah, Provinsi yang memiliki Pulau terbanyak ke-tiga sebesar 1180 Pulau, juga tidak termasuk BKSDK [5]. Hal ini tentu menjadi pertanyaan untuk apa, siapa, dan kemana arahnya UU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan ini dikemudikan?

Daerah Kepulauan berdasarkan Tipologi menurut Kab/Kota

Apabila dilihat dari keberadaan Kab/Kota bertipologi Aquatic-Terrestrial dan memiliki pulau sebagai Kab/Kota berciri Kepulauan, maka sebenarnya hanya 10 Daerah yang tidak memiliki Kab/Kota Kepulauan, sebagai berikut:

Provinsi berdasarkan Tipologi Geografi Kab/Kota, Diluar DKI Jakarta (Sumber: DJPK Kemenkeu, 2018 — Diolah)

Kesepuluh Provinsi yang tidak memiliki Kab/Kota berciri kepulauan ialah Sumatera Selatan, Sulawesi Barat, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jambi, Gorontalo, dan DI Yogyakarta. Namun karena Sulawesi Barat secara luas wilayah dan keberadaan pulau-pulau kecil masuk kedalam Provinsi berciri Kepulauan, sehingga total 25 Provinsi yang masuk kedalam Daerah berciri Kepulauan.

Overlay Daerah Provinsi Berciri Kepulauan berdasarkan Kategori Definisi (Sumber: Highcharts, Diolah)

Daerah Provinsi Berciri Kepulauan Kategori I (8) : pemrakarsa Badan Kerjasama Daerah Kepulauan (BKSDK), yakni Kepri, Babel, NTB, NTT, Sultra, Sulut, Malut, Maluku

Daerah Provinsi Berciri Kepulauan Kategori II (8) : memiliki Wilayah Laut lebih luas dari Wilayah Darat diluar daerah pemrakarsa BKSDK, yakni Banten, DKI Jakarta, Jatim, Bali, Sulsel, Sulbar, Sulteng, Papua Barat

Daerah Provinsi Berciri Kepulauan Kategori III (9) : memiliki Daerah Kabupaten/Kota yang luas wilayah perairan lebih dari luas wilayah daratan, yakni Aceh, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Lampung, Jateng, Kalbar, Kaltara, Papua.

Jelas saja ada 25 dari 34 Provinsi (73.53%) yang berciri kepulauan, karena memang pada dasarnya, Indonesia sendiri merupakan Negara Kepulauan. Lalu perlukah Otonomi Khusus untuk Daerah Kepulauan?

Konsep Dana Khusus Kepulauan

Tiga masalah pokok yang dihadapi ialah (1) akses terhadap pelayanan pemerintahan dan pelayanan dasar yang memadai baik dari segi ketersediaan infrastruktur maupun aksesibilitas infrastruktur; (2) rendahnya kualitas sumberdaya manusia; dan (3) terbatasnya kemampuan keuangan daerah dan ketergantungan fiskal yang sangat tinggi pada Pemerintah, sehingga menciptakan disparitas layanan maupun ekonomi antar wilayah.

Dalam rangka menjawab tantangan tersebut, salah satu butir yang diajukan dalam RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan ialah mengenai Dana Khusus Kepulauan (DKK). Menurut Draft yang terakhir, Dana Khusus Kepulauan ialah Alokasi Dana sebesar 5% dari dan diluar Dana Transfer Umum (DAU dan DBH) yang digunakan dalam rangka Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan.

Untuk menguji persoalan diatas, penulis akan mencoba menganalisa persoalan yang diduga spesifik khusus kepulauan yang menjadi alasan dan urgensi perlunya alokasi Dana Khusus Kepulauan. Menggunakan definisi Daerah Kepulauan pada draf UU tersebut (Luas Wilayah > 50% Laut, dan memiliki Pulau-pulau, dengan memasukkan seluruh variabel administrasi (tidak hanya provinsi) untuk mendetailkan granulasi data), maka didapatkan hasil sebagai berikut ini:

Kemahalan Konstruksi Daerah Kepulauan

Salah satu alasan perlunya DKK ialah mahalnya biaya konstruksi untuk membangun di daerah kepulauan. Hal ini bisa dilihat dari rata-rata Indeks Kemahalan Konstruksi di masing-masing daerah.

Komparasi Rerata IKK Daerah Kepulauan (DK) dan Non Kepulauan (NK) 2018 (Sumber: DJPK Kemenkeu, 2018 — Diolah)

Hal yang menarik ialah, IKK Daerah Kepulauan relatif lebih tinggi kecuali untuk daerah Kota di Region Bali Nusa Tenggara; serta Kabupaten, Kota, dan Provinsi di Region Maluku Papua, dimana IKK Daerah Non Kepulauan lebih tinggi dibandingkan IKK Daerah Kepulauan.

Temuan ini menjelaskan bahwa persoalan utamanya bukan terletak dari Kepulauan atau Bukan Kepulauan, tetapi tersedia atau tidaknya akses untuk distribusi logistik dan bahan konstruksi untuk melaksanakan pembangunan. Terbukti di daerah Maluku Papua, justru Daerah Kepulauan lah yang memiliki rata-rata IKK yang relatif lebih rendah dibanding Daerah Non Kepulauan, karena yang Non Kepulauan lebih terisolir dan sulit diakses dibandingkan Daerah Kepulauan. Sehingga IKK ini isunya lebih kepada ketimpangan Timur-Barat dibandingkan ketimpangan Kepulauan dan Non Kepulauan.

Stimulus Fiskal dalam bentuk Dana Khusus Kepulauan, bagi Daerah Kepulauan di Region yang persoalannya lebih banyak di keterisolasian wilayah darat, akan semakin memperlebar kesenjangan pembangunan antara pesisir/kepulauan dan wilayah pedalaman.

Pembangunan Manusia dan Perekonomian Daerah Kepulauan

Begitupula dengan perbandingan IPM Daerah Kepulauan dan Non Kepulauan. Berdasarkan data dibawah ini, Rata-rata Kota di Bali-NT, Provinsi di Jawa, Kabupaten dan Provinsi di Maluku-Papua, Kota dan Provinsi di Sulawesi, serta Kota dan Provinsi di Sumatera yang memiliki ciri Kepulauan justru memiliki rata-rata IPM lebih baik dibandingkan Daerah Non Kepulauan, dan Daerah Kota yang memiliki rata-rata IPM paling tinggi di semua region.

Komparasi Rerata IPM Daerah Kepulauan (DK) dan Non Kepulauan (NK) 2018 (Sumber: DJPK Kemenkeu, 2018 — Diolah)

Adapun dari segi Perekonomian Wilayah, dapat dilihat di seluruh Region, Kota juga yang mendominasi memiliki PDRB per-kapita paling tinggi, bahkan seluruhnya (kecuali Region Maluku Papua) merupakan Daerah Kota yang Berciri Kepulauan. Di region Sumatera, Kab/Kota/Provinsi; Kota dan Provinsi di Jawa; Kabupaten di Maluku-Papua, Kota dan Provinsi di Sulawesi, yang berciri kepulauan memiliki PDRB per-kapita lebih tinggi dibanding Non-Kepulauan.

Komparasi Rerata PDRB per Kapita Daerah Kepulauan (DK) dan Non Kepulauan (NK) 2018 (Sumber: DJPK Kemenkeu, 2018 — Diolah)

Dengan demikian persoalannya tidak terletak pada ketimpangan Kepulauan dan Non Kepulauan melainkan Ketimpangan Kota non Kota, Jawa non Jawa.

Kapasitas Keuangan Daerah Kepulauan

Dari segi Kapasitas Keuangan Daerah Kepulauan dapat dilihat dari PAD Per Kapita, PAD per Km2, Dana Transfer Umum per Kapita dan DTU per Km2. Dari data PAD per Kapita dapat dilihat bahwa konsentrasi bangkitan PAD per kapita masih dipimpin Jawa dan Sumatera. Bahkan di Sumatera, Daerah Kepulauan baik Kabupaten, Kota dan Provinsi memiliki Bangkitan PAD lebih tinggi dibandingkan Non Kepulauan.

Komparasi Rerata PAD Per Kapita Daerah Kepulauan (DK) dan Non Kepulauan (NK) 2018 (Sumber: DJPK Kemenkeu, 2018 — Diolah)

Adapun rerata PAD per-Km2 (berdasarkan luas wilayah) memang terkonsentrasi di kota-kota. Hal ini dapat dipahami karena kebijakan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) memang bias Perkotaan. Sedangkan Daerah Kabupaten baik kepulauan atau bukan, kekurangan basis PDRD yang menjadi sumber utama PAD.

Komparasi Rerata PAD Per Km2 Daerah Kepulauan (DK) dan Non Kepulauan (NK) 2018 (Sumber: DJPK Kemenkeu, 2018 — Diolah)

Dampak Fiskal Kebijakan Dana Khusus Kepulauan

Sesuai definisi Dana Khusus Kepulauan yakni sebesar 5% dari dan diluar DTU, penulis mencoba memodelkan bagaimana apabila ditambahkan sebesar 5% Dana Transfer Umum sebagai Dana Khusus Kepulauan yang akan menambah pada Transfer Daerah jenis Dana Transfer Khusus Fisik.

Dengan menggunakan data alokasi 2018, skenario gap alokasi DTK Fisik tanpa ada DKK (eksisting) ialah 4.37 Trilyun. Apabila DTK Fisik tersebut ditambah DKK sebesar 5% DTU kepada 8 Daerah Provinsi pemrakarsa BKSDK secara proporsional berdasarkan luas laut, gap alokasi DTK + DKK melebar 25.12% ke angka 5.47 Trilyun. Adapun apabila alokasi 5% DTU didistribusikan kepada Daerah Provinsi Berciri Kepulauan secara proporsional berdasarkan luas laut, gap alokasi DTK + DKK melebar 40.65% mencapai 6.18 Trilyun.

Perbandingan Skenario Ketimpangan Alokasi DTK Fisik Sebelum dan Sesudah ditambah DKK

Dengan demikian, penambahan DKK pada Daerah Kepulauan justru akan memperlebar kesenjangan alokasi antar daerah, yang akan memancing permintaan pengkhususan lainnya seperti Dana Khusus Daerah Pedalaman, Dana Khusus Daerah Pesisir, Dana Khusus Daerah Adat, dan sebagainya dalam rangka mengakomodir keragaman dan kekhasan pemerintahan daerah.

Perubahan Strategi Pembangunan Daerah Kepulauan, Bukan Otonomi atau Dana Khusus

Untuk mempercepat pembangunan daerah kepulauan, semestinya Daerah Provinsi tidak hanya yang 8, melainkan seluruh Daerah Provinsi yang memiliki pulau-pulau dan gugus kepulauan, mulai memikirkan bagaimana alternatif strategi pembangunan daerah kepulauan kedepannya.

Dengan adanya ancaman Perubahan Iklim, kenaikan muka air laut, potensi hilangnya pulau-pulau, atau rusaknya biodiversitas karena pengasaman (asidifikasi), maka pembangunan seperti apa yang dapat membantu terpenuhinya fondasi sosial (standar pelayanan minimum) dan menjaga supaya laju pembangunan tidak menembus batas-batas ekologis yang bisa membahayakan eksistensi/keberlangsungan pulau-pulau yang ada.

Konsep Ekonomi Donat — Raworth (2017)

Melalui upaya identifikasi potensi dan perancangan program yang baik, semestinya berbagai sumber-sumber pembiayaan pembangunan dapat dimobilisasi dalam rangka menyediakan pelayanan dasar yang memadai bagi masyarakat kepulauan dan dalam waktu yang bersamaan, mendorong geliat kegiatan perekonomian masyarakat di daerah kepulauan.

Pendelegasian kewenangan pelayanan ekonomi skala kecil sektor kelautan dari Provinsi kepada Kabupaten Kota, yang tidak memicu timbulnya eksternalitas negatif yang ekstrateritorial (lintas wilayah) juga perlu didorong, supaya memudahkan pelaku usaha dalam menggerakan perekonomian masyarakat khususnya yang terkait dengan sektor kelautan dan perikanan.

Pemerintah Daerah juga perlu mendobrak proses business as usual menjadi sebuah inovasi, gebrakan baru, yang ditempuh melalui proses kerjasama baik antar daerah kepulauan, maupun dengan daerah non kepulauan, atau dengan mitra pembangunan lainnya seperti pelaku usaha maupun lembaga non pemerintah lainnya.

Misalnya, alih-alih menyediakan layanan melalui sarana pendidikan yang berkualitas di setiap pulau, dapat disubstitusi melalui pengembangan pusat pendidikan berasrama yang menjadi percontohan, bekerjasama dengan lembaga pendidikan swasta dan jasa penyebrangan, sehingga dapat diakses oleh siswa dari pulau-pulau yang ada disekitarnya dan didesain secara kontekstual untuk sesuai dengan potensi setempat, baik bersifat vokasi, agama maupun menengah umum. Dengan demikian, sumber daya yang terbatas, dapat dioptimalkan untuk menunjang pembangunan daerah kepulauan secara terintegrasi dari pembangunan SDM hingga pembangunan ekonomi masyarakat kepulauan.

Melaksanakan proses desentralisasi asimetris, tidak selalu mesti dijawab dengan sebuah otonomi khusus. Justru mesti dimulai dari penemu-kenalan kekhususan persoalan yang dihadapi serta pendekatan khusus yang diperlukan dalam menyelesaikannya. Tidak harus selalu dengan status otonomi baru atau sumber dana baru, karena melalui inovasi dan kerjasama, peluang pemecahan masalah akan terbuka.

Luthfi Muhamad Iqbal

luthfime@gmail.com

Credits:

Thanks to Anugrah Yudha Pranata data master/guru atas bantuannya memperoleh data-data berharga ini. Juga pada Tania Benita yang membawa penulis menyelami dunia tentang per-pulau-an, tulisan tentang tipologi kota pulaunya Alvaryan Maulana, diskusi dan pemaparan mengenai teori ekonomi donat yang sangat mutakhir dan berguna.

Referensi

[1] https://politik.rmol.co/read/2018/10/09/361087/RUU-Daerah-Kepulauan-Diharapkan-Dapat-Mengurangi-Kesenjangan-

[2]http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/pembahasan_RUU_TENTANG_PERCEPATAN_PEMBANGUNAN___DAERAH_KEPULAUAN.pdf

[3]http://www.beritasatu.com/nasional/416125-delapan-provinsi-kepulauan-sepakat-bentuk-bksdk.html

[4]http://www.djpk.kemenkeu.go.id/datadasar/dashboard

[5]http://www.nomor.net/_kodepos.php?_i=pulau-kodepos&sby=000000

--

--

Luthfi Muhamad Iqbal
Luthfi Muhamad Iqbal

Written by Luthfi Muhamad Iqbal

trying to do something best, not to be someone great

No responses yet