Menggugat Definisi Legal Perkotaan
Membenahi Sengkarut Pembangunan Perkotaan
Setidaknya terdapat dua produk hukum yang mengatur mengenai “perkotaan” yakni UU Pemerintahan Daerah dan UU Penataan Ruang. Berikut akan dijelaskan hasil penelaahan (review) mengenai definisi Perkotaan menurut kedua Undang-undang tersebut.
Perspektif UU Pemerintahan Daerah
Menurut UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, Perkotaan didefinisikan sebagai wilayah dengan batas-batas tertentu yang masyarakatnya mempunyai kegiatan utama di bidang industri dan jasa. Perkotaan dapat berbentuk Kota dan Kawasan Perkotaan. Kawasan Perkotaan dapat berupa bagian dari Daerah Kabupaten dan Bagian dari dua atau lebih kawasan yang berbatasan langsung. Penyelenggaraan pemerintahan pada kawasan perkotaan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya[1]. Dengan definisi diatas maka dapat kita strukturkan dalam skema berikut dibawah ini:
Namun menurut opini penulis pendefinisian tersebut keliru. Perkotaan dan Kawasan Perkotaan seringkali digunakan bergantian untuk menyebut istilah yang sama. Karena memang “Perkotaan” itu ialah sifat, ketika disebut dalam konteks keruangan, maka penyebutannya menjadi Wilayah Perkotaan, Kawasan Perkotaan, Daerah Perkotaan, tidak umum disebut sendiri “Perkotaan” sebagai sebuah entitas lokasi.
Disamping itu, skema diatas tidak mampu menjelaskan fenomena yang terjadi sebenarnya, bahwa terdapat Daerah Kota yang tidak semuanya berciri perkotaan (over-bounded city), sebaliknya ada juga Daerah Kota yang sifat perkotaannya melampaui batas administrasinya (under-bounded city). Juga secara teori terdapat Kota yang memiliki kawasan perkotaan tepat dengan batas administrasinya (true bounded city)[2], meski pada kenyataannya penulis belum menemukan kota mana dalam konteks indonesia yang termasuk kedalam true bounded city. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka seluruh Daerah Kota, pada dasarnya merupakan Kawasan Perkotaan. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada ilustrasi dibawah ini:
Dengan demikian, secara administratif pendefinisian kota dan kawasan perkotaan perlu ditinjau kembali, karena kepastian definisi menjadi salah satu faktor penting dalam perencanaan dan pembangunan perkotaan.
Perspektif UU Penataan Ruang
Adapun menurut UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, kawasan perkotaan diartikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi[4]. Kemudian pada PP 26/2008 dijelaskan mengenai klasifikasi perkotaan berdasarkan peran (Pusat Kegiatan Nasional/PKN, Pusat Kegiatan Wilayah/PKW, Pusat Kegiatan Lokal/PKL) dan ukurannya (Kawasan Megapolitan, Kawasan Metropolitan, Kawasan Perkotaan Besar, Kawasan Perkotaan Sedang, Kawasan Perkotaan Kecil)[5].
Dengan demikian Kawasan Perkotaan, idealnya berada pada salah satu titik dalam struktur matriks diatas antara peran dan ukurannya. Kenyataannya tidak demikian. Ada hierarki peran yang lebih rendah daripada PKL (Pusat Kegiatan Lokal), juga perlu ada ukuran kawasan perkotaan yang lebih kecil daripada Kawasan Perkotaan Kecil. Karena kenyataannya banyak yang masuk kedalam definisi “kawasan perkotaan” tetapi tidak berperan sebagai PKL/PKW/PKN dan PKSN, atau memiliki penduduk lebih rendah daripada parameter penduduk untuk Kawasan Perkotaan Kecil. Dengan definisi yang diatur saat ini, kawasan perkotaan tersebut tidak masuk kedalam klasifikasi manapun. Disinilah hulu-nya persoalan pembangunan perkotaan dimulai.
Menurut kewenangan, penetapan PKN dan PKW ialah kewenangan Pemerintah Pusat, penetapan PKL ialah kewenangan Provinsi, dan penetapan PPK (Pusat Pelayanan Kawasan) serta PPL (Pusat Pelayanan Lingkungan) ialah kewenangan Kabupaten. Bagaimana dengan Kota? Kota menetapkan sistem pelayanan internal kota yakni Pusat Pelayanan Kota (PPK), Subpusat Pelayanan Kota (SPK) untuk setiap Sub Wilayah Kota (SWK) dan Pusat Lingkungan (PL) yang melayani satu atau beberapa kelurahan.
Dengan demikian, dalam Sistem Perkotaan Nasional hanya dapat diidentifikasi PKN (dan PKSN) serta PKW saja. Diluar PKN dan PKW yang diusulkan oleh Provinsi serta PKL, PPK, dan PPL. Berikut dibawah ini merupakan hasil pemetaan Lampiran II RTRWN tentang Sistem Perkotaan Nasional yang terdiri dari 83 PKN, 30 PKSN, dan 169 PKW[5].
Peran Kawasan Perkotaan
Gambar dibawah ini merupakan struktur hierarki sistem perkotaan dan sistem pusat pelayanan yang berlaku di Indonesia. Garis titik-titik antara PKSN dan PKN menyiratkan bahwa PKSN memiliki posisi strategis secara nasional tetapi bukan dalam konteks signifikansi fungsi pelayanan ekonomi, adapun garis titik-titik antara PPK dengan PKN, PKW, dan PKL menyiratkan bahwa PPK = Pusat Pelayanan Kota dapat berada didalam PKN, PKW, maupun PKL tergantung peran Kota nya sebagai apa. Adapun PPK = Pusat Pelayanan Kawasan merupakan Kawasan Perkotaan atau Pusat Permukiman Perkotaan di daerah Kabupaten.
Dari pembagian peran diatas, hanya PKSN, PKN, PKW dan PKL yang disebut dalam RTRWN 2008 dan 2017. Sedangkan keseluruhan hierarki secara lengkap tercantum dalam PermenPU No 15/2009 jo. PermenPU No 16/2009 jo. PermenPU No 17/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi; Kabupaten; dan Kota, yang kemudian telah dibatalkan dengan PermenATR/PerkaBPN No 1/2018 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, Kabupaten, dan Kota dengan hanya membagi “Sistem Perkotaan” dan Sistem Pusat Pelayanan” tanpa merinci bagaimana hierarkinya.
Klasifikasi Ukuran Kawasan Perkotaan
Ukuran perkotaan di Indonesia berada pada rentang 50.000 sampai sejumlah takhingga penduduk. Berbeda Negara, memiliki definisi berbeda untuk sebuah kota. Swedia dan Denmark, kawasan permukiman lebih dari 200 penduduk dapat disebut sebuah kawasan perkotaan. Australia dan Kanada minimal 1.000 penduduk (sejalan dengan Teori Ekistik, Doxiadis (1968)[7]). Prancis dan Israel, 2.000 Penduduk. Amerika Serikat dan Meksiko 2.500 penduduk. Sedangkan Jepang minimal 30.000 Penduduk[8]. Berikut dibawah ini merupakan sandingan antara klasifikasi versi RTRWN dan klasifikasi ukuran perkotaan Doxiadis.
Small city pada skema diatas tidak memiliki ambang batas penduduk minimal karena seringkali didudukan sebagai sub wilayah kota (SWK) dari sebuah kota yang lebih besar (kota sedang atau kota besar). Lalu apa perbedaan city dan town? Definisi legal menurut World Atlas (2019)[8], City ialah:
Legally defined entity with a structured system of governance, and which has delegated powers to oversee local legislation as well as the management of resources. Citizens of a city are responsible for electing representatives who form the local government that provides local services.
Secara sederhana City dapat diartikan Kawasan Perkotaan yang memiliki pemerintahan sendiri, atau yang disebut Kota. Adapun Town ialah:
Towns are generally places with unincorporated communities that have no structured system of government but receives services from the other levels of government. However, in some countries, governments allow towns to have some limited powers.
Atau Kawasan Perkotaan yang tidak berbadan hukum, tanpa sistem pemerintahan terstruktur, dan menerima layanan dari tingkat pemerintahan yang lainnya, meski terdapat beberapa negara yang mendelegasikan kewenangan kepada Town.
Gagasan Reklasifikasi
Menurut penulis, pendefinisian Perkotaan harus diperbaiki. Pada bagian ini akan diulas Perkotaan menurut Administrasi, Populasi dan Fungsi.
Reklasifikasi menurut Administrasi
Perkotaan harus diberikan atribut untuk menunjukkan sebuah area yang berciri perkotaan, baik sebagai bagian dari kota (dalam kondisi overbounded cities), bagian dari 2 atau lebih daerah yang berbatasan (dalam kondisi underbounded cities), atau bagian dari kabupaten (kasus towns). Sehingga skemanya menjadi seperti ini:
Dari gambar diatas City atau Kota dalam perspektif administrasi dapat berupa Kota Otonom, yakni yang diberikan kewenangan mengatur sendiri (desentralisasi) dan Kota Administratif seperti pada Kota-Kota yang berada dibawah administrasi Provinsi DKI Jakarta, dimana kewenangannya lebih terbatas. Adapun Kawasan Perkotaan (Urban Areas/Towns) dapat berupa bagian dari Kota (untuk kasus over-bounded city) ataupun bagian dari Kabupaten. Sedangkan Wilayah Perkotaan (Urban Agglomeration) dapat terdiri dari Kota inti dan kawasan perkotaan sekitarnya, atau menyatunya beberapa kawasan perkotaan yang tersusun dari dua Daerah atau lebih baik didalam Provinsi maupun dua provinsi atau lebih.
Reklasifikasi menurut Populasi
Dalam perspektif ukuran populasi, diusulkan penjenjangan sebagai berikut:
Klasifikasi Kawasan Perkotaan
- Kawasan Perkotaan Kecil, berpenduduk 1.000 — 5.000
- Kawasan Perkotaan Sedang, berpenduduk 5.000–10.000
- Kawasan Perkotaan Besar, berpenduduk 10.000–50.000 atau lebih
Klasifikasi Kota
- Kota Kecil, berpenduduk kurang dari atau sama dengan 50.000–100.000
- Kota Sedang, berpenduduk 100.000–500.000
- Kota Besar, berpenduduk 500.000–1.000.000
- Kota Metropolitan > 1.000.000
Klasifikasi Wilayah Perkotaan
- Wilayah Mikropolitan kurang dari atau sama dengan 50.000–1.000.000
- Wilayah Metropolitan 1.000.000–3.000.000
- Wilayah Konurbasi Perkotaan 3.000.000–10.000.000
- Wilayah Megapolitan > 10.000.000
Reklasifikasi menurut Fungsi
Adapun terkait gagasan perbaikan hierarki pusat kegiatan, penulis memandang sudah saatnya Indonesia menetapkan beberapa kawasan sebagai Pusat Kegiatan Global (PKG) untuk mencapai visi Indonesia 2045 sebagai negara berpenghasilan menengah tinggi.
PKSN (Pusat Kegiatan Strategis Nasional) harus dikembangkan setara dengan Pusat Kegiatan Global dengan cakupan layanan yang lebih kecil yakni Pusat Kegiatan global setempat (PKg) karena posisinya di perbatasan sehingga memiliki potensi dan posisi untuk memberikan pelayanan tidak hanya bagi Warga Negara Indonesia namun juga untuk penduduk di negara tetangga di sekitar perbatasan. Dengan demikian pembangunan perkotaan Indonesia dapat turut menjawab gagasan “membangun dari pinggir” yang menjadi salah satu butir nawacita.
Disamping itu terdapat perubahan notasi Pusat Pelayanan Kawasan menjadi PPk dengan “k” kecil. Hal ini penting untuk membedakan dengan istilah PPK sebagai Pusat Pelayanan Kota, sehingga tidak timbul kesalahan penggunaan dan pengartian dari kedua istilah tersebut (PPK digunakan dalam Sistem Pusat Pelayanan Internal Kota, dan PPk digunakan dalam Sistem Perkotaan).
Konsekuensinya, dengan menerapkan gagasan-gagasan yang disebut di atas, maka akan terdapat 70 Jenis Klasifikasi Kota dan Perkotaan menurut Peran dan Ukurannya, sebagaimana skema berikut dibawah ini:
Melalui perubahan sebagaimana dimaksud, diharapkan tidak hanya Metropolitan dan Kota-Kota yang berstatus sebagai Daerah baik Daerah Otonom maupun Daerah Administrasi saja yang mendapatkan perhatian, melainkan perkotaan secara keseluruhan memiliki semangat yang sama, bekerja bersama menuju pencapaian tujuan pembangunan perkotaan dan permukiman berkelanjutan.
Luthfi Muhamad Iqbal
Ciawi, 4 Juli 2019
*P.S. Senang akhirnya dapat menulis kembali. Anyway, sangat terbuka terhadap diskusi, saran, masukan dan juga kritik, mengingat semua ini hanyalah luapan kesoktahuan dari kegelisahan yang telah lama mengendap.
Referensi
[1] Undang Undang No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah
[2]Northam, R.M. 1979. Urban Geography. New York: John Wiley & Sons
[3]Peraturan Kepala BPS No 37/2010 tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia
[4] Undang Undang No 26/2007 tentang Penataan Ruang
[5] Peraturan Pemerintah no 26/2008 jo. Peraturan Pemerintah no 13/2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
[6] Permen ATR/BPN No 1/2018 jo. PermenPU No 15/2009 jo. PermenPU No 16/2019 jo. PermenPU No 17/2019 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, Kabupaten dan Kota
[7] Doxiadis, Constantinos A. 1968. Ekistics: An Introduction to the Science of Human Settlements. New York: Oxford University Press.
[8] https://www.worldatlas.com/articles/what-is-the-difference-between-a-city-and-a-town.html