Melembagakan Metropolitan

Peluang Penerapan Model Kelembagaan Metropolitan Indonesia

Luthfi Muhamad Iqbal
10 min readJul 4, 2020
Ilustrasi Makassar Metropolitan Area yang akan dikembangkan sebagai Urban Seafront (Photo by Arief Hidayat on Unsplash)

New Call for Metropolitan Revitalization: Unprecedented Urgency for Metro Governance

Hari Jum’at, 3 Juli 2020, disiarkan bahwa Menteri Koordinator bidang Perekonomian telah mengungkapkan rencana pemerintah untuk mengembangkan 10 Wilayah Metropolitan sesuai RPJMN 2020–2024 dengan tema-tema sebagai berikut:

Ilustrasi Tema Pengembangan Wilayah Metropolitan (WM)

Dalam berita yang lain dinyatakan bahwa pengembangan perkotaan melalui revitalisasi Wilayah Metropolitan ini ditujukan sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi nasional untuk meningkatkan demand terhadap komoditas yang terdampak seperti baja, semen, kabel melalui pembangunan infrastruktur perkotaan. Diperkirakan sebesar 1.400 T tambahan dana diperlukan untuk melaksanakan revitalisasi di 10 Wilayah Metropolitan ini.

Jika wilayah metropolitan masih dikelola secara terfragmentasi, maka inisiatif revitalisasi dan rencana investasi sebesar itu akan memiliki risiko tidak terlaksana secara optimal, karena lebih didorong oleh inisiatif Pemerintah Pusat tanpa ada rasa kepemilikan dan semangat yang sama di tingkat daerah. Selain itu, pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur juga memberikan ketidakpastian kepada status kekhususan DKI Jakarta, yang juga menjadi bagian dari salah satu Metropolitan yang direvitalisasi. Mengamati perkembangan di atas, penulis menilai bahwa pengelolaan wilayah metropolitan yang efektif dan fungsional tidak pernah sepenting dan semendesak ini. Sehingga kedua rencana tersebut dapat menjadi pemicu yang cukup kuat untuk melakukan reformasi dan penataan kelembagaan Metropolitan Indonesia ke depan.

Pada tulisan sebelumnya telah diulas mengenai eksplorasi model kelembagaan metropolitan di Indonesia. Dalam tulisan kali ini, penulis mencoba mengulas penerapan model pengelolaan metropolitan dalam konteks Indonesia, termasuk kendala, hambatan, peluang regulasi yang teridentifikasi, dan proses serta prosedur pelembagaannya.

Constitutional Barriers, Opportunities, and Governance Model Contextualization: A Review

Metropolitan Regional Government

Dalam UUD 1945 Amandemen keempat Pasal 18 ayat (1) tidak terdapat ruang bagi pembentukan Pemerintahan Antara yang diperlukan sesuai karakter Metropolitan: antara Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk WM lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi, atau antara Pemerintah Pusat dan Provinsi untuk WM lintas kabupaten/kota lintas provinsi. Disebutkan bahwa NKRI terbagi atas provinsi, dan provinsi dibagi atas kabupaten kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Dengan demikian Pemerintahan Metropolitan atau Kelembagaan Metropolitan dalam bentuk Pemerintahan Wilayah Metropolitan tidak memiliki ruang legal yang jelas dalam konstitusi.

Ilustrasi Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 Amandemen ke-4

Ketika Pemerintah Wilayah Metropolitan yang berkedudukan sebagai pemerintahan daerah antara pusat dan provinsi atau provinsi dan kab/kota tidak dimungkinkan, maka menurut pasal tersebut, satu-satunya peluang ialah berstatus sebagai Provinsi Metropolitan atau Kota Metropolitan atau Kabupaten Metropolitan.

Terkait kewenangan, karena karakter Metropolitan bersifat “meso”, artinya tidak semakro Provinsi/Nasional tetapi juga mengurusi hal semikro Kota yang bersifat lintas, sehingga akan berbeda dengan kewenangan Provinsi juga akan berbeda dengan kewenangan Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Mirip seperti kekhususan yang dimiliki oleh Jakarta: yakni memiliki kewenangan Kabupaten/Kota dan Provinsi dalam satu Pemerintahan Daerah.

Dengan demikian terlepas pada tingkatannya, baik itu Pemerintah Provinsi Metropolitan, Kota Metropolitan atau Kabupaten Metropolitan, pola kewenangannya perlu diberikan secara khusus dan asimetris dengan Pemerintah Daerah lain yang bersifat bukan Metropolitan. Hal ini juga bisa menjadi resolusi bagi DKI Jakarta apabila berubah status bukan lagi sebagai Ibu Kota Negara, maka bisa dibentuk sebagai Daerah Khusus Metropolitan.

Dasar hukumnya ialah dalam UUD 1945 Amandemen keempat Pasal 18B ayat (1): Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dalam konteks ini Pemerintah Daerah Khusus Metropolitan (sebagai benchmark: Auckland Metropolitan yang dibentuk pada tahun 2010 yang memiliki kewenangan tingkat Kota dan tingkat Provinsi sekaligus, seperti DKI Jakarta saat ini).

Adapun tahapannya, bisa melalui Penataan Daerah melalui melalui penggabungan daerah atau pemekaran daerah otonom baru (DOB) yang dasar hukumnya diatur dalam Pasal 32 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pola ini dalam konsep/model kelembagaan metropolitan disebut Consolidated Local Government, dimana pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam suatu metropolitan dilebur menjadi satu entitas pemerintahan daerah metropolitan (sebagai benchmark: Lyon Metropolitan 2015, 10 Citta Metropolitane Italia 2014, 30 Provincial Metropolitan Municipalities Turki).

Ilustrasi Consolidated Local Government pada Metropolitan Medan melalui skenario dengan/tanpa pemekaran

Kelebihan: simplifikasi dan perampingan kelembagaan dari semula 4 daerah otonom menjadi 1 daerah otonom, perluasan basis pajak (memiliki kewenangan pajak daerah provinsi dan kabupaten kota dalam satu pemerintahan daerah), pengendalian eksternalitas lintas batas serta koordinasi pembangunan metropolitan semestinya dapat lebih mudah dilakukan. Kekurangan: akan menjadi enclave bagi Provinsi induk, mengurangi pemasukan pajak bagi Provinsi induk, menghambat redistribusi bagi daerah-daerah lain di Provinsi induk, ongkos politik sangat tinggi: menghapuskan 4 DPRD dan 4 Pemerintah Daerah ke dalam 1 Pemerintahan Daerah (1 DPRD dan 1 Pemerintah Daerah).

Metropolitan Authority as a Government Agency

Secara umum, peluang pembentukan otorita atau lembaga pengelola khusus perkotaan lintas batas administrasi diatur dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang Pasal 46 dan 47 yang memberikan ruang bagi pembetukan kelembagan pengelola tersendiri dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang dan/atau kerja sama penataan ruang kawasan perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/kota. Pada subbagian ini akan diulas mengenai peluang pembentukan otorita metropolitan sebagai lembaga pemerintahan baik yang dibentuk pemerintah pusat, maupun yang dibentuk oleh pemerintah daerah.

Apabila Dibentuk Pemerintah Pusat bentuk kelembagaan otorita metropolitan kemungkinan terbagi ke dalam tiga jenis:

  1. Lembaga Struktural di Bawah Kementerian bentuk ini serupa dengan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) milik Kemenkeu, atau Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) milik Kementerian PUPR. Menempel di suatu kementerian, dapat dipimpin oleh pejabat setingkat Eselon I atau dibawahnya, atau bukan dari Pegawai Negeri Sipil. Kekurangannya ialah, otorita yang dibentuk akan sangat sektoral tergantung kementerian induknya, misal dibawah Kemendagri, maka cenderung berpusat di seputar “Pemerintahan dan Tata Kelola Administrasi”; adapun apabila dibawah KemenPUPR maka cenderung berfokus di Infrastruktur; dibawah ATR/BPN perencanaan, pemanfaatan, pengendalian ruang dan pertanahan. Pada kenyataannya isu pengelolaan Metropolitan merupakan isu kewilayahan yang lintas sektor. Mungkin juga dibawah suatu Kementerian Koordinator sehingga dapat lintas kementerian.
  2. Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), bentuk ini serupa dengan Badan Nasional Pengelola Perbatasan, berstatus LPNK, bisa dipimpin oleh pejabat setingkat Menteri atau dibawahnya. Kekurangannya ialah, pada umumnya LPNK ini bersifat nasional, satu badan untuk semua, dan mendukung suatu urusan pemerintahan. Sehingga otorita yang dibentuk menjadi sangat sentralistis, pada kenyataannya masing-masing Wilayah Metropolitan memiliki karakteristik , potensi, dan persoalan yang berbeda beda
  3. Lembaga Non Struktural (LNS), bentuk ini serupa dengan Otorita Batam, BPKPBPB Sabang, BPKPBPB Bintan dan BPKPBPB Karimun. Otorita Independen, dapat memiliki DIPA sendiri, atau menginduk pada DIPA K/L pada APBN, atau APBD atau mekanisme pendanaan lainnya. Otorita dalam bentuk LNS ini ialah yang paling dekat dengan kebutuhan kelembagaan Metropolitan. Didalamnya dapat dibentuk Dewan Pengarah yang terdiri atas Kepala Daerah di Wilayah Metropolitan, Menteri/Kepala Lembaga terkait. Meskipun demikian, kekurangannya ialah berpotensi menimbulkan dualisme kepemimpinan antara pemimpin wilayah, dalam hal ini kepala daerah otonom, dengan kepala otorita, seperti yang terjadi di Batam.

Secara variasi, alternatif ini memiliki bentuk kelembagaan yang beragam. Persoalan umum ialah dualisme kepemimpinan antara kepala otorita dengan kepala daerah. Isu lainnya ialah pembentukan otorita seperti ini memerlukan landasan hukum (ratio legis) yang kuat. Dapat berupa presidential policy seperti Kepres dan Perpres, atau lebih tinggi seperti PP dan UU.

Apabila Dibentuk Pemerintah Daerah bentuk kelembagaan otorita metropolitan kemungkinan terbagi ke dalam dua kelompok besar: yakni bisa melalui penataan kelembagaan atau pembentukan lembaga baru.

A. Jika melalui penataan kelembagaan, maka terdapat tiga opsi:

  1. Penataan Kelembagaan Sekretariat Daerah Provinsi dasar hukumnya ialah PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah Pasal 7 ayat (4) huruf e dimana terdapat peluang penyelenggaraan fungsi lain yang diberikan oleh gubernur yang berkaitan dengan tugas dan fungsinya dalam penyusunan kebijakan dan pengoordinasian administratif terhadap tugas Perangkat Daerah serta pelayanan administratif. Dalam hal ini bisa dimasukkan ke dalam struktur Asisten Daerah ex officio (yang ada secara eksisting: misal Asisten Pemerintahan atau Asisten Pembangunan) atau melalui pembentukan Asisten baru yang khusus dibentuk untuk mengelola Wilayah Metropolitan
  2. Penataan Kelembagaan Dinas Daerah Provinsi dasar hukumnya ialah PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah Pasal 13 ayat (4) huruf e dimana terdapat peluang penyelenggaraan fungsi lain yang diberikan oleh gubernur yang berkaitan dengan tugas dan fungsinya dalam membantu gubernur melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dan tugas pembantuan yang ditugaskan kepada Daerah Provinsi. Karena Pengelolaan Wilayah Metropolitan (WM) tidak termasuk ke dalam matriks urusan yang diatur dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka bisa ditempuh jalur Tugas Pembantuan (TP). Sebagian besar WM merupakan KSN (Kawasan Strategis Nasional) sehingga secara kewenangan berada di Pemerintah Pusat. Maka dengan Pola TP, Pemerintah Pusat dapat memberikan penugasan kepada Provinsi untuk melaksanakan pengelolaan WM/KSN yang dilaksanakan oleh Dinas tertentu sebagai leading sector (misal Dinas Tata Ruang? atau Dinas Pekerjaan Umum? atau Dinas Perhubungan? atau Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu? dll.). Kekurangannya pola TP mensyaratkan adanya pembiayaan APBN Pusat dalam bentuk dana TP dari pos anggaran Kementerian/Lembaga yang memberikan penugasan.
  3. Penataan Kelembagaan Badan Daerah Provinsi dasar hukumnya ialah PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah Pasal 24 ayat (4) huruf e bahwa Badan Daerah Provinsi dapat melaksanakan fungsi lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai tugas dan fungsinya untuk menunjang urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah Provinsi. Sehingga terdapat peluang pembentukan Bidang khusus pengelola wilayah metropolitan atau memberikan tugas di bidang yang sudah ada dalam struktur Badan eksisting (Bappeda? atau Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah? dll.)

B. Jika melalui pembentukan kelembagaan baru, juga terdapat tiga opsi:

  1. Pembentukan Lembaga Baru: Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) berpola Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dasar hukum sesuai PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah Pasal 18 bahwa pada Dinas Daerah Provinsi dapat dibentuk UPTD Provinsi untuk melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang tertentu (sebagai ilustrasi SMA dan SMK di bawah Dinas Pendidikan dan RSUD di bawah Dinas Kesehatan). Pentingnya berpola BLUD (seperti RSUD) ialah supaya UPTD yang dibentuk memiliki otonomi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban keuangan. Dalam konteks Metropolitan UPTD ini bisa berperan sebagai service delivery unit/operator layanan tingkat Metropolitan, tetapi regulatornya tetap berada di Dinas yang sudah diberikan Tugas Pembantuan untuk mengelola KSN Metropolitan (A.2.) atau Badan Daerah yang baru (B.2.)
  2. Pembentukan Lembaga Baru: Badan Daerah Provinsi Pengelola Wilayah Metropolitan sesuai Pasal 24 ayat (5) huruf f dan Pasal 24 ayat (6) bahwa o selain Perencanaan, Keuangan, Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan, Penelitian dan Pengembagan, Badan Daerah provinsi juga dapat dibentuk untuk melaksanakan fungsi penunjang lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan kriteria: diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan dan memberikan pelayanan yang menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi semua Perangkat Daerah provinsi. Dalam konteks kelembagaan metropolitan, apabila dalam perpres KSN Perkotaan diamanatkan pembentukan kelembagaan metropolitan yang memfasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan seluruh perangkat daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam wilayah metropolitan, maka dapat dibentuk Badan Daerah Provinsi Pengelola Wilayah Metropolitan
  3. Pembentukan Lembaga Baru: Deputi Gubernur Bidang Pengelolaan Perkotaan dan Metropolitan struktur Deputi Gubernur hanya ada pada Provinsi dengan status Daerah Khusus seperti DKI, sejauh yang diatur dalam UU Pembentukan Daerah Khusus. Sehingga opsi ini memerlukan dasar hukum bagi Provinsi yang memiliki Wilayah Metropolitan untuk dapat memiliki Deputi Gubernur khusus bidang Pengelolaan Perkotaan dan Metropolitan.

Secara ringkas dapat dilihat pada bagan di bawah:

Opsi pembentukan Otorita Metropolitan sebagai Lembaga/Badan Pemerintah

Metropolitan Authority as Third Party Institution/Corporation

Dasar Hukum: PP 28/2018 tentang Kerja Sama Daerah pasal 13 s.d. Pasal 22 yakni selain pola Kerja Sama Daerah dengan Daerah Lain (KSDD) yang diwujudkan melalui pembentukan Sekretariat Kerja Sama Daerah, dapat pula dilakukan Kerja Sama Daerah dengan Pihak Ketiga (KSDPK).

Dalam konteks Kelembagaan Metropolitan, berdasarkan pasal terdapat peluang pembentukan kelembagaan Otorita Metropolitan berbentuk Badan Hukum, atau Badan Usaha yang berbadan hukum yang melakukan:

  1. penyediaan pelayanan publik,
  2. pengelolaan aset,
  3. kerja sama investasi,
  4. penyediaan infrastruktur dan
  5. pengadaan barang dan jasa di Wilayah Metropolitan.

Sehingga Pemerintah daerah dalam satu Wilayah Metropolitan mengadakan kontrak/perjanjian kerja sama dengan Otorita Metropolitan sebagai Badan Usaha yang berbadan hukum/Badan Hukum selaku “pihak ketiga” dalam pola KSDPK.

Untuk Metropolitan Corporation (bisa dalam bentuk Metropolitan Development and Management Corporation/Metropolitan Municipal Corporation, dll.) dasar hukumnya ialah PP 54/2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah yang memberikan peluang pembentukan kelembagaan metropolitan dalam bentuk Metropolitan Municipal Corporation yakni sebagai BUMD Provinsi baik sebagai Perumda (Perusahaan Umum Daerah) maupun Perseroda (Perusahaan Perseroan Daerah) dimana Kepala Daerah selaku pemilik modal (jika berbentuk perumda) atau pemegang saham (jika berbentuk perseroda) diundangkan melalui Perda Pendirian BUMD.

Struktur kepemilikan, jika Perumda maka 100% modal dimiliki oleh Provinsi dan tidak terbagi atas saham. Jika Perseroda maka 51% harus dimiliki oleh satu daerah (jika BUMD Provinsi maka 51% Provinsi, jika BUMD Kota Inti dalam Wilayah Metropolitan, maka 51% Kota tersebut, dan dibentuk sebagai BUMD Kota). Adapun daerah lainnya dan swasta, sebagai pemegang saham dalam BUMD Metropolitan ini.

Dalam regulasi yang ada pada saat ini, tidak dimungkinkan jika 51% saham ini dibentuk oleh Gabungan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Wilayah Metropolitan (bukan merupakan kontribusi dari satu daerah saja) dan 49% sisanya oleh swasta/masyarakat (untuk Perseroda) atau 100% modal gabungan dari Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Wilayah Metropolitan (untuk Perumda). Sehingga memerlukan terobosan peraturan apabila akan ditempuh jalur ini.

Metropolitan Corporation juga bisa berbentuk sebagai BUMN (mungkin sebagai Perum ataupun Persero) yang wilayah pengelolaannya berada di berbagai Wilayah Metropolitan (bisa sebagai cabang usaha atau anak usaha). Selain itu, Metropolitan Corporation sebagai swasta murni juga dimungkinkan tetapi regulatornya perlu dirancang dengan baik di sisi Pemerintah, supaya tetap bisa secara efektif dan efisien menyelenggarakan pengelolaan metropolitan tetapi kepentingan publik dapat tetap terjamin.

Opsi pembentukan Otorita Metropolitan sebagai Lembaga Non Pemerintah/Korporasi

Metropolitan Government Cooperation/Metropolitan Mayor Forum

Dasar Hukum: PP 28/2018 tentang Kerja Sama Daerah Pasal 7 bahwa Kepala daerah dapat membentuk sekretariat kerja sama dalam penyelenggaraan KSDD. Sekretariat kerja sama dapat dibentuk dalam melaksanakan kerja sama wajib dengan ketentuan kerja sama wajib tersebut:

  1. dilakukan secara terus menerus;
  2. memiliki kompleksitas tinggi; dan
  3. jangka waktu kerja sama paling singkat 5 (lima) tahun.

Sekretariat kerja sama bukan perangkat daerah dan bertugas memfasilitasi perangkat daerah dalam melaksanakan KSDD dan pendanaannya dibebankan pada APBD Daerah yang bekerja sama.

Untuk kerja sama yang bersifat sukarela, atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana di atas, maka pembentukan Sekretariat Kerja Sama tidak dimungkinkan, dan koordinasi pengelolaan pembangunan metropolitan mungkin dapat dilaksanakan melalui forum komunikasi/koordinasi daerah di Wilayah Metropolitan baik di tingkat teknis, maupun di tingkat tinggi: Walikota (Metropolitan Mayor Forum).

Urban Bill: the Hope for Reform

Apapun opsi yang dipilih sebagai solusi tata kelola bagi wilayah Metropolitan, harapannya dapat dituangkan secara jelas dan sederhana dalam RUU Perkotaan yang sedang disusun saat ini. Sehingga pengelolaan wilayah Metropolitan dan pengelolaan kawasan perkotaan secara umum memiliki landasan hukum (ratio legis) yang kuat dan jelas. Dengan demikian reformasi kelembagaan perkotaan diharapkan dapat menjadi pemampu (enabler) bagi pewujudan perkotaan yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan, termasuk juga mendukung kelancaran pelaksanaan proyek revitalisasi 10 Wilayah Metropolitan yang diusung pemerintah dalam periode 2020–2024.

Luthfi Muhamad Iqbal
Staf Subdirektorat Perkotaan, Kementerian PPN/Bappenas

Disclaimer: tulisan di atas merupakan pandangan pribadi penulis, terbuka untuk kritik/saran/diskusi lebih lanjut

--

--