Menerka Kota-kota Indonesia
Dalam Batas-Batas Administrasinya 2015–2045
Prediksi
Berdasarkan refleksi sebelumnya, penulis sebenarnya masih percaya bahwa Kota itu perlu dilihat dalam perspektif kewilayahan (regional) sebagai Wilayah Perkotaan (ketika kasusnya under-bounded city) atau Kawasan Perkotaan (ketika kasusnya over-bounded city), tidak sebagai kota apa adanya untuk menghasilkan analisis yang lebih baik (kecuali memang memenuhi true-bounded city).
Akan tetapi selalu, analisis yang ada, meski kurang baik, tetap lebih baik daripada tidak dilakukan analisis sama sekali. Sehingga pada tulisan ini penulis ingin mencoba menerka perkembangan Sistem Perkotaan Nasional dalam kurun waktu 2015–2045. Pembahasan akan dilakukan menurut Wilayah Pulau.
Pembangunan Perkotaan Wilayah Sumatera
Pada grafik dibawah ini, biru tua menunjukan Kota Metropolitan, hijau menunjukan Kota Besar, biru terang menunjukkan Kota Sedang, dan oranye menunjukkan Kota Kecil. Data ini diperoleh dari penguraian proyeksi penduduk provinsi kedepan (forward projection) 2010–2045.
Kota-kota di Provinsi Kepulauan Riau memiliki laju pertumbuhan yang paling cepat dipimpin oleh Metropolitan Batam dan disusul oleh Kota Sedang Tanjungpinang. Dari prediksi diatas, Metropolitan di Sumatera Utara yakni Medan merupakan kota dengan penduduk paling banyak di Sumatera hingga 2045, di Tengah terdapat Koridor yang tersusun dari 3 Metropolitan yakni Padang-Pekanbaru-Batam. Serta di Selatan terdapat dua Metropolitan yakni Palembang dan Bandar Lampung.
Kota Besar berkurang semula 3 yakni Bandar Lampung, Padang dan Jambi, pada akhir tahun rencana tersisa hanya 1 yakni Jambi. Kota Sedang bertambah 2030 sebanyak 3 kota yakni Pariaman, Sibolga dan Sungai Penuh serta 2040 sebanyak 1 kota yakni Subulussalam.
Lalu apakah ini Ideal? Apakah kita butuh mendorong kota-kota seperti Bengkulu, Dumai, Banda Aceh dan Tanjungpinang lebih padat (densify) menjadi Kota Besar? Apakah kita butuh menambah PPk (Pusat Pelayanan Kawasan) menjadi Kota Kecil? Intervensi apa yang perlu dilakukan?
Pembangunan Perkotaan Wilayah Jawa-Bali
Dibawah ini Kota Metropolitan bertanda warna merah; Kota Besar bertanda warna biru gelap, Kota Sedang berwarna biru terang. Sebagai catatan pada tampilan dibawah ini Jakarta tidak ditampilkan secara gabungan sebagai sebuah Provinsi (tingkat I), melainkan dibagi menurut Kota Administratif (tingkat II).
Dalam kurun waktu 2015–2045, kota di Jawa-Bali terdapat 2 tambahan Kota Metropolitan yakni Kota Jakarta Pusat dan Kota Denpasar (2030). Disamping itu terdapat penambahan 2 Kota Besar yakni Cilegon dan Yogyakarta (2035). Kota-kota di Jawa Barat memiliki pertumbuhan yang cukup pesat, dapat dilihat bahwa Kota Bekasi dan Kota Bandung memimpin di akhir tahun 2045, juga Kota Tasikmalaya sebagai Kota Besar dalam konteks sebagai PKW. Adapun Cirebon, meski sebagai PKN, ternyata tidak berpindah dari posisinya sebagai Kota Sedang hingga tahun 2045.
Lalu apakah Jawa membutuhkan adanya kota-kota kecil lain untuk menyeimbangkan? Atau haruskah kita melakukan pemadatan kota-kota sedang? Bagaimana mengelola Jawa sebagai urban-island sehingga tetap memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan?
Pembangunan Perkotaan Wilayah Kalimantan
Sistem Perkotaan di Kalimantan hingga 2045 hanya terdiri dari 3 tipologi kota yakni 1 Kota Metropolitan di Samarinda (2035), 3 Kota Besar yakni Banjarmasin, Balikpapan dan Pontianak, serta 5 Kota Sedang yakni Palangkaraya, Tarakan, Banjarbaru, Bontang dan Singkawang.
Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara ke Pulau Kalimantan tentu sedikit banyak akan mengubah konstelasi Sistem Perkotaan Wilayah Kalimantan. Akankah berpengaruh pada penambahan pertumbuhan di kota-kota besar dan sedang di Kalimantan secara keseluruhan? Ataukah hanya berpengaruh pada konsentrasi kota-kota di sekitar lokasi Ibu Kota baru?
Apakah dominasi Kota Samarinda yang diprediksi menjadi Kota Metropolitan pada tahun 2035 menjadi berkurang pasca berpindahnya Ibu Kota Negara ke pulau ini, atau sebaliknya justru menjadi the New Primate City of Kalimantan dengan jumlah dan kepadatan penduduk lebih tinggi dari yang diperkirakan? Apakah Kota Tanjung Selor perlu dijadikan Kota Otonom terpisah dari Kabupaten Bulungan sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Utara? Apakah dibutuhkan pembentukan kota-kota kecil terutama di perbatasan Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara untuk menyeimbangkan pertumbuhan dan pengembangan sistem perkotaan di Kalimantan?
Pembangunan Perkotaan Wilayah Sulawesi
Sistem Perkotaan di Sulawesi menandakan adanya urban primacy dari Kota Makassar yang secara historis memang telah lama berperan sebagai hub di Indonesia Timur. Sejak 2015 perbandingan antara Makassar sebagai first rank city yang bertipologi Kota Metropolitan dengan second rank city yakni Manado, lebih dari 2:1. Selama periode 2015–2040, Sulawesi mengalami fenomena kehilangan “Kota Besar” karena kota-kota yang ada merupakan Kota Sedang. Baru pada tahun 2045, diprediksi Kota Palu akan menjadi Kota Besar.
Dapat dilihat bahwa Ibu Kota Provinsi memiliki perkembangan yang cukup signifikan (Makassar, Palu, Kendari, Manado dan Gorontalo), dibandingkan kota-kota lainnya. Akan tetapi Kawasan Perkotaan Mamuju sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Barat tidak dapat dilihat karena belum (atau tidak) berstatus sebagai Kota Otonom.
Pembangunan Perkotaan Wilayah Maluku, Nusa Tenggara & Papua
Sistem Perkotaan Wilayah Maluku, Nusa Tenggara dan Papua mulanya hanya terdiri dari Kota Kecil yakni Tual dan Tidore Kepulauan, serta Kota Sedang yakni Mataram, Kupang, Ambon, Sorong, Jayapura, Ternate dan Bima. Kemudian terdapat penambahan 3 Kota Besar yakni Mataram (2025) dan Kupang serta Ambon (2040). Adapun pada tahun 2020, kota Tidore Kepulauan akan menjadi Kota Sedang sehingga sampai 2045 hanya Kota Tual yang tetap terklasifikasi sebagai Kota Kecil.
Tidak ada satupun Kota Metropolitan di Wilayah ini, kalaupun terbentuk Wilayah Metropolitan dari kota-kota yang ada, maka sepertinya akan terdiri dari Ibu Kota Provinsi dan kawasan perkotaan disekitarnya seperti misal Wilayah Metropolitan Mataram Raya, Kupang, Ambon dan Ternate-Tidore-Sofifi, Jayapura, serta Sorong sebagai pengecualian, meskipun dari kesemuanya tidak ada satupun yang cukup secara ukuran sebagai Kota Metropolitan hingga tahun 2045.
Apakah ini bermasalah? Atau haruskah kita memiliki Kota Metropolitan di Wilayah ini? Perlukah kita mengembangkan kota-kota Kecil untuk menumbuhkan pusat pusat kegiatan baru di wilayah ini? Apakah diperlukan pembangunan kota-kota maritim untuk menampung penduduk yang terpaksa bermigrasi karena naiknya permukaan laut di pulau-pulau kecil berpenghuni yang tersebar di wilayah Maluku, Nusa Tenggara dan Papua?
Inkuiri Preskripsi
Dari sekian pertanyaan yang diajukan penulis ketika menemukan prediksi diatas semakin menumbuhkan pertanyaan baru bagi penulis. Ketika kita sepakat bahwa Kota sejatinya dapat menjadi agen atau pusat pertumbuhan bagi wilayah disekitarnya, namun ketika membentuk Kota Otonom dari embrio kawasan perkotaan di wilayah Kabupaten justru me-reset kemajuan Kabupaten Induk (sebagai contoh kasus Kota Bima), perlukah kita menciptakan daerah kota-kota otonom baru kedepannya?
Bagaimanakah Sistem Perkotaan yang Ideal? seimbang? apakah hanya semata-mata melawan terjadinya urban primacy? ataukah perlu berperang dengan sprawling? alih guna lahan? atau mendorong konurbasi dan Metropolisasi? atau seperti apa?
Penulis percaya bahwa parameter sederhana komitmen kita terhadap pengembangan Kota Berkelanjutan, ditandai dengan adanya peningkatan laju penduduk yang lebih tinggi dibandingkan penambahan lahan terbangun di perkotaan, lantas apakah kita harus merayakan reklasifikasi massal desa menjadi kota di sekitar kota sebagai sebuah perkembangan dan kemajuan atau justru mengantisipasinya dengan berbagai cara?
Diluar data yang disampaikan diatas, masih banyak kawasan perkotaan, wilayah perkotaan yang mungkin memiliki masalah perkotaan seperti under-services tetapi tidak ter-capture karena tidak memiliki status administrasi sebagai Kota Otonom maupun Kota Administratif. Lalu apa upaya kita kedepannya untuk merespon prediksi proyeksi pertumbuhan perkotaan ini? Apa intervensi yang harus dilakukan sehingga dapat memastikan perkotaan layak huni untuk semua dapat terwujud secara berkelanjutan, tidak sprawling, namun compact?
Penulis merasa senang bila dapat berdiskusi untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Luthfi Muhamad Iqbal
Bogor, 5 Juli 2019