Menolak Pembangunan “Instan” Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Merayakan Tahun Infrastruktur 2016: Kawal Pembangunan, Tanpa Pencitraan!

Luthfi Muhamad Iqbal
14 min readJan 30, 2016
Ilustrasi Kereta Cepat Indonesia

Latar Belakang

Meskipun tidak tercantum dalam RPJMN 2014–2019, pembangunan kereta cepat bukanlah sebuah proyek kemarin sore, perencanaanya sudah tercantum dalam dokumen rencana induk perkeretaapian nasional (RIPNAS 2030) yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 43 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Perkeretaapian Nasional, sebagaimana diamanatkan pada UU No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.

Dalam tataran kebijakan, Kereta Cepat ialah salah satu bentuk dari pembangunan modernisasi di Indonesia untuk meningkatkan peran kereta api sebagai angkutan massal di daerah perkotaan dan layanan angkutan antar-kota yang menghubungkan pusat pusat kegiatan nasional (PKN) serta akses ke Pelabuhan dan Bandara dalam mendukung angkutan barang dan logistik nasional. Atas dasar kebijakan tersebut, diturunkanlah program pembangunan kereta api cepat menjadi salah satu program utama dengan trase Merak — Jakarta — Surabaya — Banyuwangi, yang ditetapkan untuk memperlancar perpindahan orang pada koridor tersebut dan mengurangi beban jalur pantai utara jawa barat yang sudah overload, dengan didukung oleh pengembangan sistem produksi, pengoperasian, perawatan dan pemeliharaan kereta api cepat dengan kemampuan sumber daya dalam negeri.

Pola Perjalanan (Desire Line) Penumpang dan Barang Pulau Jawa 2030, Rencana Induk Perkeretaapian Nasional Kementerian Perhubungan (2011)

Modernisasi adalah satu instrumen untuk meningkatkan layanan transportasi perkeretaapian supaya lebih efisien, karena penggunaan teknologi usang menimbulkan high cost economy dibandingkan teknologi yang terbaru. Arah modernisasi teknologi perkeretaapian harus diarahkan kepada teknologi sarana angkutan perkeretaapian yang berdaya angkut massal, kecepatan tinggi, hemat energy dan ramah lingkungan. Namun, untuk mengusahakan modernisasi berkedaulatan, dan menolak kontrol intelektual sebagai bentuk baru kolonialisasi-imperialisasi, modernisasi harus diiringi dengan proses alih teknologi, dimana kita tidak hanya sebagai pemakai teknologi modern, namun juga sebagai pengembang teknologi tersebut.

Peta Rencana Jaringan Kereta Api Cepat (High Speed Train) di Pulau Jawa, Merak-Banyuwangi, Rencana Induk Perkeretaapian Nasional Kementerian Perhubungan (2011)

Perkembangan Proyek Kereta Cepat Indonesia

Proposal Badan Kerjasama Internasional-Jepang (JICA) mengenai proyek kereta api cepat sudah diajukan dari mulai tahun 2008, dengan kecepatan 300km/jam menggunakan teknologi Shinkansen yang merupakan teknologi kereta cepat pertama di Asia, menghubungkan dua pusat kegiatan nasional yakni Jakarta-Surabaya. Kemudian, Tiongkok, masuk kedalam persaingan pada April 2015. Dengan alasan fokus membangun infrastruktur di luar jawa, proyek ini dibatalkan dan disubstitusi dengan proyek kereta api semi cepat, dengan kecepatan dibawah 300 km/jam, dengan struktur kerjasama yang diharapkan ialah B to B, perusahaan ke perusahaan, bukan B to G, perusahaan ke pemerintahan atau G to G, pemerintahan ke pemerintahan. Dikabarkan Tiongkok melakukan penstrukturan kembali bentuk kerjasama, sedangkan Jepang tidak, sehingga pada pertengahan September 2015 Kontrak kerjasama dipercayakan kepada Tiongkok untuk menggarap proyek Kereta (Semi) Cepat Jakarta — Bandung, dengan syarat tidak ada APBN yang digunakan dalam pembangunan proyek ini, juga tidak ada jaminan pemerintah apabila proyek ini mangkrak atau berhenti di tengah jalan. Selain itu, belajar dari proyek Monorail Jakarta, kementerian perhubungan memberikan ultimatum, yang apabila proyek ini mangkrak, konsorsium penggarap proyek ini mesti mengembalikan lingkungan pembangunan kembali seperti semula, tidak dibiarkan begitu saja.

6 Oktober 2015, pemerintah mengeluarkan peraturan presiden (Perpres) nomor 107 tahun 2015 tentang percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta (semi) cepat Bandung-Jakarta, dan menunjuk empat BUMN dalam satu konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN menjadi salah satu pelaksana proyek kereta api (semi) cepat ini, yakni PT Wijaya Karya (sebagai pimpinan konsorsium), PT Kereta Api Indonesia, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara VIII. Pada Pasal 4 ayat 2 ditegaskan sumber dana tidak akan mendapatkan bantuan dari APBN, dan juga tak ada pemberian jaminan dari pemerintah. Dalam aturan ini juga dicantumkan mengenai penugasan kepada kementerian yang berkaitan dengan proyek ini, termasuk penyesuaian berbagai rencana tata ruang wilayah (RTRW) di daerah yang dilewati oleh proyek ini, yakni Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, meliputi Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, Kota Bandung. Sedangkan untuk RTRW Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi yang dilewati tidak turut dicantumkan dalam perpres tersebut.

Pada tanggal 16 Oktober 2015 China Railway International Co.Ltd menandatangani kontrak kerjasama dengan PT Pilar Sinergi BUMN sebagai pertanda dimulainya komitmen kerjasama pembangunan kereta cepat, dengan disertai persetujuan 75% dana komitmen pembangunan dari total sebesar 74 Trilyun Rupiah yang didukung oleh China Development Bank. Sebuah nominal proyek yang lebih tinggi dibandingkan dengan tawaran Jepang yang hanya sebesar 64 Trilyun Rupian (memiliki perbedaan 10 Trilyun Rupiah). China menyanggupi pembangunan dengan waktu tiga tahun, dan bisa mulai operasional pada tahun 2018 atau 2019 awal. Sedangkan Jepang menargetkan pembangunan dalam waktu lima tahun yakni 2018–2023, dengan waktu operasional pada tahun 2023. Pada tanggal ini pula, penantian dan persiapan tujuh tahun yang dilakukan Jepang terhadap proyek Kereta Cepat di Indonesia, menjadi sia-sia.

Pada tanggal 8 Januari 2016, Presiden membentuk Peraturan Presiden (Perpres) No 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, yang pada pasal 25 berbunyi: pemerintah dapat memberikan jaminan pemerintah pusat terhadap proyek strategis nasional yang dilaksanakan oleh Badan Usaha atau pemerintah daerah yang bekerja sama dengan badan usaha. Hal ini bertentangan dengan Perpres 107 tahun 2015 soal percepatan penyelenggaraan pembangunan kereta cepat Bandung-Jakarta.

Pada tanggal 21 Januari 2016, Presiden meresmikan upacara groundbreaking di lahan perkebunan teh di Walini, Kabupaten Bandung Barat milik PT Perkebunan Nusantara VIII, dengan keadaan 11 dokumen yang menjadi syarat untuk izin membangun gagal dikumpulkan oleh konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China/KCIC meliputi Desain Pengembangan, Ilustrasi Teknis, Data Lapangan dan Spesifikasinya. Menurut informasi yang diberitakan, perusahaan ini hanya mengantongi izin membangun di 5 kilometer pertama dari total proyek yang dikerjakan.

Pembahasan Detail Proyek Kereta Cepat Bandung-Jakarta

Pada tahun 2008 dilakukan analisis kelayakan 700 km Jakarta-Surabaya, namun biaya proyek mencapai 2.1 trilyun yen, akan sangat memberatkan pemerintah Indonesia, sehingga pemerintah Indonesia meminta kajian ulang seksi Jakarta Bandung dengan kemungkinan perluasan seksi Bandung-Cirebon, sebagai bagian dari proyek Jakarta-Surabaya. Dilakukan perbandingan jalur antara rute pantai sepanjang 207.3 kilometer dan rute Bandung sepanjang 256 kilometer sebagai berikut:

Peta Rencana Jalur Seksi I Jakarta — Cirebon, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012)

Secara rute lebih pendek dan memiliki profil elevasi yang lebih datar rute pantai utara jawa dibandingkan dengan rute Bandung. Rute Bandung memiliki profil elevasi yang sangat bergelombang dan akan banyak dibangun terowongan seperti pada gambar berikut ini:

Profil Elevasi Jalur Kereta Cepat: Rute Bandung (Atas) Rute Pantai Utara Jawa (Bawah), (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012)

Akan tetapi, rute Bandung memiliki keunggulan yakni terhubung dengan kota terbesar ketiga se Indonesia, yakni Bandung, dan berpotensi menghubungkan kawasan Industri Karawang dengan Kawasan terpadu Bandar Udara Internasional Jawa Barat, Kertajati, Majalengka, sehingga rute Bandung memiliki potensi permintaan (demand) yang lebih tinggi dibandingkan dengan rute pantai utara jawa barat (coastal route). Adapun Jakarta-Bandung-Gedebage merupakan proyek tahap awal dari proyek Jakarta-Cirebon yang merupakan bagian dari proyek Jakarta-Surabaya yang merupakan bagian dari rencana kereta Cepat Merak-Banyuwangi.

Tabel Deskripsi Alternatif Seksi dan Rute, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012)

Menurut kajian perbandingan antara tiga opsi tersebut, secara topografi, keterpaduan antar moda dan resiko bencana, secara lengkap dapat dilihat pada table berikut ini:

Tabel Kajian Perbandingan Karakteristik Rute dan Seksi, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012)

Untuk analisis keekonomian tariff antar wilayah asal dan tujuan, dapat dilihat pada table berikut dibawah ini:

Tabel Tarif Keekonomian Jakarta-Cirebon Rute Bandung, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012)

Adapun analisis perkiraan pertumbuhan permintaan baik untuk rute bandung, maupun rute pantai utara adalah sebagai berikut:

Tabel Proyeksi Pertumbuhan Permintaan 2020–2050, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012)

Dapat dilihat pada ilustrasi diatas, bahwa proyeksi permintaan 2020–2050 yang tertinggi adalah jalur Jakarta-Cirebon, dengan kepadatan tertinggi pada seksi Jakarta Bandung, namun perbedaannya kurang signifikan dengan rute Jakarta-Gedebage yang hanya berbeda 20 ribu penumpang pada tahun 2020 dan 50 ribu penumpang pada tahun 2050.

Adapun analisis sosial-lingkungan terkait pelaksanaan proyek ini dapat dilihat pada grafik dibawah berikut ini:

Grafik pengurangan Emisi CO2 akibat Substitusi Kendaraan Bermotor berbasis Jalan Raya dan Kereta Api Konvensional kepada Kereta Api Cepat Ramah Lingkungan, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012)

Dengan disubstitusinya jenis pergerakan dari kereta api konvensional dan moda berbasis jalan raya kepada kereta cepat akan mengurangi emisi karbon perharinya. Dapat dilihat pada tabel diatas bahwa pengurangan emisi dengan scenario rute bandung lebih besar 10 kali lipat dibandingkan dengan pengurangan emisi karbon melalui scenario rute pantai utara. Isu lingkungan lainnya ialah mengenai penggunaan lahan hutan cadangan dan hutan produksi, serta daerah rawan longsor. Namun isu ini dapat diselesaikan apabila proyek ini telah dilengkapi oleh dokumen Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penggunaan teknologi yang mutakhir.

Selain isu lingkungan juga terdapat isu sosial. Bahwa proyek ini akan menggusur masyarakat dalam rentang yang tidak sedikit. Terdapat 1200 hingga 3000 rumah tangga yang mesti digusur untuk melakukan pembangunan kereta api cepat ini. Kecuali jika pembangunan dilakukan di jalur kereta api eksisting ataupun jalan tol secara layang/elevated. Berikut detail akuisisi lahan dalam hektar dan rumah tangga yang harus digusur dalam tiga scenario jalur dalam dua rute berbeda:

Tabel Akuisisi Lahan dan Penggusuran Akibat Pembangunan Kereta Api Cepat, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012)

Evaluasi Proyek Pembangunan Kereta Cepat

Berdasarkan studi preliminer/pendahuluan terkait analisis kelayakan ekonomi (Economic Feasibility Analysis) maupun analisis kelayakan finansial (Financial Feasibility Analysis) ditemukan bahwa pengurangan waktu tempuh dan biaya operasional memiliki dampak pada perekonomian nasional, bisa dilihat pada skor EIRR atau Economic Internal Rates of Return yang positif untuk scenario rute bandung, khususnya Jakarta-Bandung-Gedebage.

Tabel Analisis Kelayakan Ekonomi dan Analisis Kelayakan FInansial, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012)

Namun untuk Financial Internal Rates of Return (FIRR) ada pada taraf yang rendah dan kurang menguntungkan apabila tanpa dukungan pemerintah. Dengan bantuan partisipasi 50% pada investasi awal, baik dengan sistem Build-Operate-Transfer maupun sistem Konsesi, FIRR untuk jalur Jakarta-Bandung-Gedebage sebesar 8.6%, adapun apabila proses perancangan dan pembangunan awal dilakukan oleh pemerintah dengan sistem Design-Build-Lease, maka FIRR mencapai 15.8%. Hal ini menandakan bahwa proyek menjadi layak baik secara financial maupun secara ekonomi apabila terdapat dukungan dan jaminan dari pemerintah.

Alternatif Skema Proyek Proposal Jepang: Build Operate Transfer (Atas), Konsesi (Tengah), Design Build Lease (Bawah), Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012)

Ilustrasi diatas menggambarkan bentuk bentuk skema proyek yang diusulkan Jepang pada proposalnya mengenai kereta cepat Jakarta-Bandung. Apabila menggunakan skema empat kaki barang dan jasa (four scheme of good and services), proyek ini termasuk kedalam pembangunan modernisasi, yang memang tidak bijak dibayar melalui pajak. Karena statusnya yang termasuk kedalam “pembangunan modernisasi”, menjadikan jasa transportasi kereta cepat ini termasuk kedalam Joint Toll Goods and Services, dimana pembiayaannya ditanggung oleh User Charge atau pengguna jasa. Sehingga memang pada dasarnya, pengusahaan kereta cepat ini mesti ditanggung oleh swasta, dan apabila negara ikut serta, tidak boleh ada dana yang bersumber dari taxpayers atau pembayar pajak, yang digunakan untuk membantu proyek ambisius ini. Sehingga baik Built Operate Transfer, Konsensi maupun Design Build Lease ketiganya merupakan Kemitraan Pemerintah Swasta, yang menegaskan bahwa proyek ini bukan proyek public murni, melainkan kerjasama antara pihak private dan pihak public.

Temuan dan Kejanggalan terkait Proyek

Ternyata dalam perjalanannya, terdapat banyak ketidakjelasan dan kesimpangsiuran dalam pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini. Keinginan pemerintah yang “murni bisnis” ternyata bertentangan dengan realita yang ada. Berdasarkan hasil kajian, proyek ini hanya layak apabila terdapat dukungan dan investasi pemerintah dalam proyek tersebut, dalam peraturan presiden nomor 107 tahun 2015 ditegaskan bahwa sumber dana tidak ada yang dikucurkan dari APBN, pemerintah pun tidak akan memberikan jaminan; sedangkan peraturan presiden nomor 3 tahun 2016 berkata Kosebaliknya, dimana proyek kereta api antar kota termasuk kedalam salah satu proyek strategis nasional yang memiliki hak untuk dijamin oleh pemerintah, bahkan memiliki kekebalan untuk dikriminalisasi.

Sedangkan resiko proyek kereta cepat ini memang tidaklah sedikit. Contohnya di Taiwan, kereta cepat yang memiliki segmentasi penumpang bisnis dengan biaya tiket yang relatif mahal menghambat penumpang regular (non-bisnis) untuk menggunakan fasilitas kereta cepat tersebut. Jumlah Ridership jatuh dan tidak sesuai dengan perkiraan, sehingga pendapatan yang didapatkan dari kegiatan operasional kereta cepat terbukti tidak mencukupi untuk membayar syarat hutang pelayanan jasa transportasi kereta cepat.

Apalagi untuk kondisi Indonesia, dimana jumlah traffic bisnisnya terbatas, apakah masyarakat Indonesia memiliki kemampuan dan keinginan membayar (ability to pay and willingness to pay) dengan tariff minimal Jakarta-Bandung sebesar 220.000 rupiah untuk satu kali perjalanan? Dan dengan asumsi jam operasional kereta cepat dari 06.00 pagi hingga 21.00, dengan perkiraan waktu tempuh selama 35 menit 1 kali perjalanan, sehingga akan ada kurang lebih 13 rit perjalanan per harinya. Apabila kapasitas penumpang 960 satu rangkaian kereta yang terdiri dari 12 gerbong, dengan asumsi persentase Average Load Factor atau tingkat kepenuhan penumpang rata rata mencapai 80%, apakah dalam sehari ada sejumlah 19.749 orang yang bergerak diantara Bandung dan Jakarta menggunakan kereta cepat ini? Dan apakah menguntungkan apabila kereta cepat ini dibangun hanya untuk satu rangkaian kereta, tidakkah terlalu mahal dan kurang menghasilkan profit? Meskipun studi berkata Jakarta-Gedebage proyeksi demand nya mencapai 39.000 penumpang pada tahun 2020, namun melihat preseden kereta cepat Taiwan yang ternyata prediksi ridership tidak sesuai kenyataan yang terjadi, apakah proyek ini akan mencapai keekonomian dan investasi pada waktu yang dikehendaki?

Secara historis, jalur KA Bandung-Jakarta yakni KA Parahyangan ditutup pada tahun 2010, karena umumnya penumpang dengan daerah asal-tujuan Bandung-Jakarta lebih menghendaki perjalanan point-to-point melalui jalur Tol Cipularang dengan beragamnya moda travel dan shuttle yang sudah tersedia, dengan waktu tempuh relatif cepat bila dibandingkan kereta konvensional dan harganya cukup terjangkau. Adapun dengan rencana kereta cepat yang menghubungkan Halim-Tegalluar, apakah faktor inter/antar-modalitas sudah diperhitungkan dalam perencanaannya? Gedebage baru direncanakan sebagai pusat sekunder kota Bandung, yang apabila belum memiliki perencanaan transportasi multimoda yang terintegrasi, maka penempatan stasiun di tempat yang cukup remote dari pusat distrik bisnis eksisting (PPK Alun-Alun) akan menjadi persoalan baru, dan praktis prediksi ridership akan meleset dari perkiraan.

Terlebih lagi dengan adanya ketidakpastian hukum, konflik perpres antara Perpres No 107 tahun 2015 dan Perpres No 3 tahun 2016. Menggunakan asas lex posterior derogate legi priori maka aturan Perpres No 107 tahun 2015 memiliki kedudukan lebih lemah atau terkesampingkan dengan adanya Perpres No 3 tahun 2016 karena keduanya merupakan sejajar, sama sama berkedudukan sebagai Peraturan Presiden. Meskipun apabila menggunakan asas lex spesialis derogate legi generalis dimana Perpres No 107 tahun 2015 mengatur hal yang lebih rinci dibandingkan Perpres No 3 tahun 2016. Namun menggunakan asas lex superior derogat legi inferior maka aturan Perpres No 107 tahun 2015 memiliki kedudukan lebih lemah dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara, dalam pasal 65 ayat 3 berisi:

“Apabila penugasan tersebut secara finansial tidak menguntungkan, Pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut, termasuk margin yang diharapkan sepanjang dalam tingkat kewajaran sesuai dengan penugasan yang diberikan”

Maka Perpres 105 yang mengatur bahwa negara takkan memberikan jaminan dalam proyek ini, bertentangan dengan PP yang lebih tinggi kedudukannya. Dalam hal ini, pemerintah melakukan sebuah inkonsistensi sikap dalam hal pemberian jaminan terhadap proyek yang pada mulanya dipandang sebagai proses murni business to business. Bahayanya, bukan tidak mungkin kedepannya, BUMN yang terlibat bisa digugat ke mahkamah internasional, hanya karena kecacatan hukum negeri sendiri.

Kemudian soal seleksi proyek, dan informasi mengenai detail perencanaan proyek yang tidak transparan, hanya karena menjanjikan tidak membutuhkan dukungan dari pemerintah, China International Railway Co Ltd., dipilihlah proposal tersebut, meskipun harga yang ditawarkan China lebih tinggi dibandingkan Jepang, bahkan diduga terdapat penggelembungan dana investasi apabila dibandingkan dengan proyek pembangunan kereta cepat Teheran-Isfahan, di Iran, termasuk ketidakjelasan mengenai kecepatan yang dijanjikan. Dalam diksi yang digunakan dalam aturan legal yaitu “kereta cepat”, tidak sesuai apabila kecepatannya menjadi menengah (medium speed rail) dengan kisaran 200–250 kilometer/jam. Belum lagi 11 dokumen yang gagal dilengkapi pada saat seremoni groundbreaking yang hanya terdapat surat izin membangun 5 kilometer pertama saja, sedangkan desain pengembangan, ilustrasi teknis, data lapangan dan spesifikasinya gagal dilengkapi.

Kepada Ibu, Kami Bertanya…

Terakhir peran Menteri BUMN yang terlalu mendominasi dalam proyek ini yang menimbulkan pertanyaan. Mengapa bukan Menteri Perhubungan? Mengapa Wijaya Karya yang menjadi pimpinan konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN? Mengapa bukan PT Kereta Api, sehingga dengan alasan modernisasi, alih teknologi perkeretaapian dapat diusahakan terjadi? Juga pernyataan jujur dari Menteri BUMN pada rapat paripurna luar biasa DPD di gedung DPD, Senayan, Jakarta:

“Dari China itu Engineer, karena Engineer kita belum punya kemampuan di situ”

Apakah sebegitu mendesaknya pembangunan kereta cepat ini sehingga lebih baik kita mendatangkan insinyur dari luar untuk membangun infrastruktur negeri ini daripada menunggu waktu sejenak untuk menyiapkan, mematangkan, dan menggunakan sumber daya manusia, putra bangsa sendiri untuk mengembangkan dan mengelola teknologi yang mapan di negeri sendiri? Terimakasih banyak atas pertanyaannya bu, semoga dapat menjadi tamparan bagi pendidikan tinggi dan kementerian terkait yang malah fokus link-and-match dengan kebutuhan industri, bukan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, termasuk pembangunan modernisasi seperti ini.

Melalui tulisan ini, Perkenankan kami untuk bertanya: Apakah Ibu Rini yang terhormat, adalah menteri negara BUMN, Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia, ataukah Badan Usaha Milik Negara Republik Rakyat Tiongkok? Mengapa semangat yang ibu gelorakan dalam pembangunan kereta cepat ini bertentangan dengan Nawacita dan Trisakti yang digaung-gaungkan oleh Presiden Jokowi? Dimanakah prinsip Berdikari yang melengkapi unsur Ekonomi? Dimanakah Kedaulatan yang melengkapi unsur Politik? Apakah memang kita, sebagai Indonesia harus rela hanya menjadi objek pembangunan global dan objek perebutan hegemoni serta korban dari kelihaian diplomasi ekonomi negara-negara besar seperti Cina dan Jepang? Apakah kita harus rela hanya menjadi pengguna teknologi modern, bukan turut sebagai pengembangnya?

Atau pembangunan ini hanya untuk membuat ibu sebagai Menteri BUMN ‘terlihat’ prestatif dan terhindar dari reshuffle yang telah berhembus dari akhir 2015 kemarin? Bila benar demikian, mungkin alangkah lebih baiknya apabila ibu fokus untuk mempersiapkan BUMN-BUMN agar siap dalam mengelola sektor strategis yang telah lama dikelola asing, dibandingkan menggarap proyek-proyek ini, kecuali apabila ketika tiba saatnya nanti, BUMN kita mendapatkan kesempatan untuk mengelola sektor strategis yang telah dekat habis masa kontraknya, dan ibu lebih suka berkata:

“…kita belum punya kemampuan di situ…”

Apabila demikian, kami sarankan, lebih baik ibu mundur saja.

Sebagai sahabat dekat ibu Megawati Soekarnoputri, mudah-mudahan ibu ingat pernyataan Presiden pertama RI, Ir.Soekarno:

“Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.”

Semoga pembangunan kereta api cepat ini bukanlah bentuk Kolonialisme modern dalam bentuk kontrol ekonomi maupun kontrol intelektual atas republik ini, seperti yang disebutkan diatas. Karena pada dasarnya, bukan Pembangunan Kereta Cepat yang kami tolak, karena ini memang bagian dari agenda modernisasi dan peta jalan pengembangan teknologi negeri ini. Justru seharusnya, bagaimana supaya pembangunan modernisasi dan pengembangan teknologi dapat memperkuat kedaulatan bangsa kita di bidang penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dus, pembangunan “Instan”-lah yang kami tolak. Pembangunan yang ditujukan bukan untuk tujuan Kesejahteraan ataupun Modernisasi melainkan hanya untuk sekedar Pencitraan. Untuk seremoni peletakan batu pertama pelaksanaan proyek dengan hanya mengantongi perizinan 5 kilometer dari total ratusan kilometer, kata apa yang paling tepat selain “Instan”?

Selamat Tahun Infrastruktur 2016, Republik Indonesia!
Semoga tidak hanya ‘badan’-nya yang dibangun,
Tapi juga ‘jiwa’-nya; Jiwa rakyatnya, jiwa pemimpinnya.

Mari Kawal Pembangunan, Tanpa Pencitraan!

Luthfi Muhamad Iqbal
Walikota HMP Pangripta Loka 2015

31 Januari 2016

Referensi

--

--