Pandemi dan Peri-Urban

Memahami Virus Corona Baru dalam konteks Sistem Perkotaan di Indonesia dan Beberapa Negara Dunia

Luthfi Muhamad Iqbal
13 min readApr 25, 2020
Ilustrasi Mudik di Stasiun Bogor Paledang: Peri-Urban Wilayah Metropolitan Jakarta (Photo by Hamid Dewa Saputra on Unsplash)

Pandemic and Urban System

Selama ini isu perkotaan dan pandemi virus corona baru (novel coronavirus) banyak dibahas dalam konteks kota sebagai area, misalkan: kepadatan penduduk (density), pusat kota dengan permukiman kumuh, dan buruknya layanan infrastruktur dasar, yang diyakini sebagai salah satu faktor penyebab transmisi virus di perkotaan meningkat dengan cepat.

Namun bahasan dalam konteks kota sebagai sistem perkotaan lebih jarang dibahas terutama dalam konteks Indonesia. Dalziel dan Viboud dalam Bliss dan Capps (2020), menantang argumen yang mengungkapkan bahwa transmisi ini hanya terjadi di kota-kota. Argumentasi umum bahwa daerah pinggiran kota (suburbs/urban periphery) dan perdesaan (rural) lebih aman dibandingkan pusat kota, terbantah oleh fakta bahwa di beberapa negara yang diamati, transmisi virus justru dimulai dari tepian perkotaan (urban periphery).

Urban density does play a role in disease transmission. But rural areas and suburban sprawl aren’t necessarily safer spaces to ride out the Covid-19 crisis.

Fenomena Urban Exodus yang biasa kita kenal dengan istilah pulang kampung atau mudik menjadi salah satu indikasi bagaimana masyarakat memiliki persepsi “bersama keluarga di desa/kampung halaman lebih aman dibandingkan tetap tinggal di kota”. Eva Kassens-Noor (2020) menegaskan bahwa betul penduduk perdesaan memiliki kemungkinan lebih kecil terkena virus, tetapi penduduk perdesaan juga memiliki kapasitas lebih kecil untuk mengatasi kasus apabila ada yang terkena.

Selain itu masih eratnya ikatan sosial pada masyarakat perdesaan menyebabkan kecepatan transmisi di desa sama cepatnya dengan kota maupun pinggiran kota atau bahkan melampaui. Terutama dari ritual-ritual keagamaan yang kuat seperti memandikan jenazah, melayat tetangga yang meninggal dunia, dan lain sebagainya.

“Rural populations have less means to contract it, but rural populations have less means to treat it.”

Berdasarkan fakta di atas, penulis mencoba mendalami tiga hal: (1) kedudukan titik awal transmisi virus dalam sistem perkotaan di negara-negara lain; (2) kedudukan titik awal transmisi virus dalam sistem perkotaan di Indonesia; (3) refleksi untuk perbaikan pembangunan perkotaan ke depan.

Peri-Urban: First Loci of Transmission

Dalam artikel Ian Klaus (2020), selama ini dalam melihat krisis Covid-19 kita terlalu bias kepada kota global. Padahal Covid-10 ialah kisah mengenai pinggiran kota (peri-urban) dan hubungan desa dan kota di ruang-ruang yang bahkan namanya seringkali tidak muncul dalam “peta global”. Roger Keil, Creighton Connolly dan Haris Ali telah membahas perspektif suburban sebagai titik awal transmisi coronavirus disini. Tentang bagaimana Covid-19 menyebar ke German, yang dimulai dengan pabrik komponen mobil di pinggiran kota Wuhan, ke Stockdorf-Jerman sebuah kota tersier di Bavaria, dan bukan Munich (ibu kota Bavaria), bukan Berlin!

Berdasarkan fakta tersebut, pada bagian ini penulis akan membahas kedudukan titik transmisi pertama kasus covid-19 dalam sistem perkotaan nasional masing-masing di beberapa negara dengan kasus covid-19 terbanyak atau pertama sebagai berikut:

  • Jerman: Stockdorf, sebuah kota tersier di Bavaria, sebelah barat daya Munich, titik transmisi pertama di Eropa
  • Italia: Codogno, sebuah kawasan perkotaan kecil (town) di Lombardia, Italia Utara, bukan Milan (ibu kota Lombardia), bukan Roma yang memulai pesatnya transmisi Covid-19 di Italia
  • Iran: Qom, sebuah kota pendidikan, pusat keagamaan dan tujuan ziarah di sebelah selatan Teheran, bukan Teheran sebagai ibu kota Iran, titik transmisi pertama di Iran
  • Amerika Serikat: Everett di Snohomish County, kota di sebelah utara Seattle, bukan Seattle sebagai ibu kota Negara Bagian Washington

Metode yang digunakan dalam analisis ialah analisis data spasial dari Global Human Settlement Layer (GHSL) data. Untuk relevansinya dengan konteks Indonesia, digunakan istilah klasifikasi ukuran kota yang berlaku di Indonesia sesuai UU Penataan Ruang dan PP Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Stockdorf, Bavaria-Germany

Transmisi coronavirus pertama di Eropa terjadi di Stockdorf, Jerman diduga terkena pada 19 Januari 2020 dan dinyatakan positif pada 27 Januari 2020, karyawan Webasto usia 33 tahun. Diduga terkena infeksi dari sejawat asal dari Shanghai yang memiliki riwayat dikunjungi oleh orangtuanya dari Wuhan. Kasus ini ialah kasus transmisi pertama yang ditularkan oleh orang lain di luar China selain keluarga/saudara (transmisi di luar China yang pertama di Vietnam ditularkan oleh Ayah ke anaknya).

Kedudukan Stockdorf (bagian dari Munich Metropolitan) dalam Sistem Kota-Kota di Jerman

Stockdorf tidak terlihat dalam konstelasi sistem perkotaan di Jerman, karena memang menjadi bagian dari Wilayah Perkotaan Munich di Bavaria. Munich sendiri merupakan kawasan perkotaan terbesar keempat di Jerman dengan penduduk sekitar 1,57 juta pada tahun 2015.

Ukuran Munich Urban Centers menurut Jumlah Penduduk relatif terhadap 10 Urban Centers terbesar di Jerman

Stockdorf secara administrasi berada di luar Munich, akan tetapi secara fungsional tergabung dalam kesatuan Munich Urban Center (warna merah). Posisinya berada tepat di perbatasan antara Urban Center dengan zona komuter Munich atau Munich Functional Urban Area (warna oranye) sebelah barat daya pusat kota Munich.

Kedudukan Stockdorf relatif terhadap Munich Urban Core (kiri) dan referensi lokasi dalam Munich Metropolitan Area (kanan)

Codogno, Lombardy-Italy

Meski bukan yang pertama, klaster Lombardia Utara termasuk salah satu epistentrum utama dalam penyebaran Covid-19 di Italia. Gejalanya mulai dirasakan sejak 14 Februari 2020 oleh seorang penduduk Codogno usia 38 tahun. Ada dua kemungkinan yakni transmisi dari teman istri pasien yang baru pulang dari China, atau transmisi dari kasus pertama di Bavaria 19 Januari 2020.

Kedudukan Codogno (Peri-Urban dari Milan Metropolitan) dalam Sistem Kota-Kota di Italia

Codogno bukan merupakan kota besar, tetapi berada di pinggiran kota Milan dan Placenza. Milan merupakan urban center terbesar kedua di Italia dengan penduduk 3.01 Juta. Bersama dengan Bergamo yang berada di urutan ke sepuluh dengan penduduk 353 ribu, keduanya (beserta urban center lain di Lombardia Utara) membentuk sebuah Wilayah Metropolitan Milan.

Ukuran Milan Urban Centers menurut Jumlah Penduduk relatif terhadap 10 Urban Centers terbesar di Italia

Codogno secara administrasi berada di provinsi Lodi. Lodi sebagai Ibu Kota Provinsi Lodi berada pada wilayah zona komuter (Functional Urban Area) dari Milan Metropolitan. Adapun Codogno berada di piggiran zona komuter Placenza. Meskipun demikian apabila dilihat pada peta di bawah, Novara, Vigevano, Plavia, Placenza, Cremona dan Brescia membentuk sabuk kota tersier (tertiary urban belt) yang mengelilingi Wilayah Metropolitan Milan. (Bergamo dan Busto Arsizio sebagai kota sekunder). Sehingga kasus outbreak yang pencerahan pertama diketahui dari pasien di Codogno berada di peri-urban (pinggiran kota) baik dilihat dari sudut pandang Kota Milan, Kota Placenza ataupun dari Provinsi Lodi.

Kedudukan Codogno relatif terhadap Milan Urban Core

Qom, Iran

Pada tanggal 19 Februari 2020, dua orang dinyatakan positif. Pada hari yang sama Menteri Kesehatan Iran menyatakan kedua orang tersebut meninggal dunia. 23 Februari 2020 Menteri Kesehatan Iran menyatakan bahwa kedua orang pertama positif Covid-19 yang meninggal dunia di kota Qom merupakan pedagang yang rutin melakukan penerbangan antara Iran dan China, dan kemungkinan terpapar virus ketika di China.

Kedudukan Qom Urban Center dalam Sistem Kota-Kota di Iran

Berbeda dengan kasus yang telah disebutkan sebelumnya, kasus pertama di Iran terjadi di Kota yang cukup populer, Qom. Kota penting dari sudut pandang keagamaan (keberadaan Fatimah Al Masumah Shrine menjadikannya kota suci kedua setelah Mashhad). Penduduk Qom sebanyak 924,95 ribu jiwa menjadikan kota tersebut sebagai urban center yang terbesar kedelapan di Iran.

Ukuran Qom Urban Centers menurut Jumlah Penduduk relatif terhadap 10 Urban Centers terbesar di Iran

Qom merupakan kota yang menjadi ibu kota dari Provinsi Qom. menurut data GHSL Qom membentuk Functional Urban Area Qom (Metropolitan) yang terdiri atas Qom urban center, Pardisian urban center dan zona komuter Qom (Functional Urban Area). Shokuhieh Industrial Town ialah kawasan industri yang berada di pinggiran Kota Qom. Meskipun memiliki pusat perkotaan dan zona komuter sendiri, secara nasional, Qom yang berjarak dua jam dari Tehran tetap dapat dilihat sebagai “pinggiran kota” apabila ditinjau relatif Tehran.

Kedudukan Qom relatif terhadap Tehran

Everett, Shonomish County-Washington, US

Kedatangan pertama coronavirus ke Amerika Serikat tercatat pada 15 Januari 2020 dan terkonfirmasi positif pada 20 Januari 2020, yakni warga negara AS yang pulang ke rumahnya di Shonomish County (Kota Everett) di negara bagian Washington. Sebelum 20 Maret 2020, negara bagian Washington (Metropolitan Seattle) merupakan lokasi yang memiliki jumlah korban jiwa tertinggi akibat Covid-19, posisi tersebut kemudian digantikan oleh Metropolitan New York sebagai episenter Covid-19 di AS.

Kedudukan Everett/Shonomish County (Peri-Urban dari Seattle Metropolitan) dalam Sistem Kota-Kota di AS

Baik Everett ataupun Shonomish County bukanlah nama lokasi yang cukup populer didengar, tetapi keduanya merupakan bagian dari Wilayah Metropolitan Seattle. Di antara urban center yang terbesar di AS, Seattle berada di posisi ketigabelas dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 2,68 juta jiwa.

Ukuran Seattle Urban Centers menurut Jumlah Penduduk relatif terhadap Urban Centers terbesar di AS

Everett berada di sebelah utara Seattle (peta yang digunakan menggunakan proyeksi world mollweide sehingga kurang menunjukkan letak utara yang sebenarnya), tepatnya berada pada perbatasan antara Seattle Urban Center (berwarna merah) dan zona komuter Seattle (berwarna oranye). Dengan demikian, index case di Amerika Serikat juga bermula dari peri-urban atau pinggiran kota.

Kedudukan Everett relatif terhadap Seattle Urban Core

Indonesian Peri-Urban and Covid-19

Kasus pertama (index case) di Indonesia dilaporkan terkena pada 29 Februari 2020 terjadi di Kemang (Jakarta Selatan) pada diumumkan secara resmi pada tanggal 2 Maret 2020, yang diduga terpapar virus dari warga negara Jepang. Transmisi lokal pertama terjadi di Depok (Selatan Jakarta) yang merupakan peri-urban dari DKI Jakarta.

Index Case di Jakarta dan Jawa Barat: https://pikobar.jabarprov.go.id/#/

Kasus Jawa Barat setelah Depok di Wilayah Metropolitan Jakarta, diikuti oleh Bekasi, dimana index case nya tidak terjadi di Kota Bekasi melainkan di Kabupaten Bekasi yakni Kecamatan Tambun Selatan (usia 65 tahun), terkonfirmasi pada 1 Maret 2020 dan meninggal pada 3 Maret 2020. Lalu Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor, sebelah selatan Kota Depok (usia 65 tahun) terkonfirmasi 10 Maret 2020.

Index case di Wilayah Metropolitan Bandung ialah di Babakan Ciparay (usia 31 Tahun), terkonfirmasi pada 4 Maret 2020. Babakan Ciparay terletak di Bandung Selatan, merupakan perbatasan (pinggiran kota) antara Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Index Case di Wilayah Metropolitan Cirebon ialah di Kecamatan Sumber (30 Tahun), terkonfirmasi pada 8 Maret 2020. Kecamatan Sumber terletak di Kabupaten Cirebon, peri-urban dari Kota Cirebon.

Kemudian kasus demi kasus bergulir dengan Jawa terutama di Wilayah-Wilayah Metropolitan sebagai episenternya: yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, serta di Makassar dan Denpasar sebagai episenter yang paling tinggi di luar jawa. Diikuti oleh Metropolitan Mataram dan Banjarmasin, Kota-kota di Papua (Jayapura (Kota dan Kabupaten), Timika, Merauke), Metropolitan Palembang, Medan, dan Palangkaraya.

Dari sisi fatality rate, 100% Provinsi di Jawa memiliki fatality rate (jumlah kematian dibandingkan kasus terkonfirmasi) lebih tinggi dari angka nasional (8.37%). Namun angka rasio kematian tertinggi didominasi oleh provinsi-provinsi di Pulau Sumatera (Lampung, Bengkulu, Sumut, Sumbar, Aceh, Babel, Riau dan Kepri).

Reflection for Post Covid-19 Urban Development

Penulis tidak pernah mengira sebelumnya bahwa kedudukan peri-urban dalam transmisi pandemi seperti “virus corona baru” ini menunjukkan sebuah pola yang mirip tidak hanya di Indonesia, tetapi secara global. Pembahasan umum mengenai peri-urban umumnya mengulas mengenai kondisi/karakteristik (sosial-ekonomi-lingkungan-tata kelola) ataupun proses transformasi (peri-urbanisasi). Sebaliknya, pandemi juga agaknya jarang dibahas dari sudut pandang sistem perkotaan, khususnya membahas peri-urban sebagai titik sentral.

Beberapa refleksi yang penulis dapatkan dari temuan di atas diantaranya ialah sebagai berikut:

1: There is no Space for Fragmented Urban Governance

Kelembagaan Metropolitan dan penataan kelembagaan kawasan perkotaan di kabupaten menjadi mendesak. Fakta bahwa peri-urban biasanya berada di dalam daerah kabupaten yang berbatasan dengan kota otonom baik dalam Wilayah Metropolitan ataupun bukan, mengangkat isu kelembagaan perkotaan ke tingkat urgensi yang belum pernah sepenting sekarang. Pertimbangan semula bahwa penataan kelembagaan dan pengembangan metropolitan dirancang untuk alasan-alasan efisiensi infrastruktur dan ekonomi, dengan kondisi Covid-19 ini bergeser ke arah perlindungan kesehatan dan keselamatan masyarakat serta keterpaduan penyediaan layanan bagi seluruh warga kota: penduduk maupun pendatang.

Pengambilan kebijakan yang harus dilakukan secara kolaboratif antarsektor antarwilayah seperti misal pemberlakuan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) yang membutuhkan koordinasi tidak hanya di dinas kesehatan namun juga dengan dinas sosial, dinas perhubungan, kepolisian, termasuk aktor-aktor masyarakat dan dunia usaha. Dari sisi pelaksanaan/implementasi kebijakan secara vertikal pun membutuhkan kesinambungan dari Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kepala Wilayah (Camat, Lurah), hingga di tingkat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) harus digerakkan sebagai kesatuan sistem tata kelola perkotaan yang terpadu, transparan, akuntabel dan cerdas. Kota-kota tidak lagi bisa dikelola secara terfragmentasi berdasarkan urusan masing-masing.

Termasuk reformulasi Dana Kelurahan, yang semula diberikan sebagai pengimbang dari keberadaan Dana Desa, semestinya perlu diarahkan untuk menjawab kebutuhan dan persoalan pengelolaan perkotaan terutama di masa pandemi seperti ini.

2: Inclusive City: Humanizing & Fulfilling the Right to the Cities

Administrative barrier seperti legalitas bermukim, operasi yustisi/ kependudukan bagi pendatang di kota serta pola birokrasi untuk pelayanan pemutakhiran data penduduk pendatang yang panjang dan berbelit-belit harus dipecahkan.

Selama ini kemudahan perizinan hanya dilihat dalam perspektif usaha. Padahal, kewajiban-kewajiban administratif bagi pendatang untuk memperoleh kesempatan dan hak yang sama dengan penduduk asli dari pemerintah kota akan menghambat manusia dari memperoleh hak atas kota. Pekerjaan yang layak, termasuk bantuan sosial dalam konteks covid-19 ini. Mungkin ketidakpastian seperti itulah yang menjadi salah satu pendorong para pendatang yang bermukim di Kota memutuskan untuk pulang kampung/mudik.

Ketimpangan gender dalam konteks perkotaan di masa pandemi ini juga menjadi isu pelik. Bapak-bapak yang diam di rumah lebih cepat bosan untuk melaksanakan swakarantina alias tidak berpergian kemana-mana. Karena anggapan bahwa house chores atau pekerjaan rumah tangga ialah pekerjaan Ibu-ibu atau perempuan, timbul perasaan bosan, dan seringkali “rasanya” tidak ada yang bisa dikerjakan. Pada akhirnya para Bapak-Bapak bandel yang masih suka ke luar rumah untuk tujuan-tujuan non esensial inilah yang menjadi agen transmisi virus dapat dengan mudah menular kepada keluarga dan merugikan keluarga serta masyarakat secara luas.

Perhatian pada lanjut usia dan difabel, termasuk anak-anak dan pemuda perlu didekati dengan strategi khusus. Terutama pemenuhan kebutuhan dasar seperti bahan pangan, pendidikan, layanan kesehatan, dan pekerjaan atau peluang untuk tetap produktif dan memperoleh penghasilan di masa pandemi.

Resilient City: Pandemic Mitigation + Adaptation for Future Society

Kota Berketahanan atau Kota Tangguh yang selama ini dibawa lebih berkonsep membangun ketahanan kota dari bencana fisik ataupun bencana karena perubahan iklim. Isu mengenai masalah public health dalam membangun kota berketahanan sangat sedikit atau jarang dibahas. Dengan kehadiran Covid-19 ini, ketahanan menghadapi, mengatasi dan beradaptasi selama dan setelah pandemi menjadi penting.

Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) sebagai suatu kampanye kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat perlu dibudayakan secara lebih holistik, tidak hanya yang berkaitan dengan diri, kesehatan, dan lingkungan, tetapi kesadaran-kesadaran yang lebih luas, sesuai konteks pandemi ini. Seperti menggunakan alat pelindung diri (masker dan sarung tangan), jaga jarak aman di tempat umum, ketika antri, menggunakan lift, bertransaksi jual beli, atau menaiki transportasi umum.

Pertanian Perkotaan yang selama ini dilaksanakan “kecil-kecilan” atau sebagai “program sampingan” dari dinas pertanian dan ketahanan pangan, perlu menjadi arusutama/mainstreaming. Selain membangun ketahanan pangan perkotaan, mengoptimalkan kesempatan sharing economy, mencegah terjadi kelangkaan dan krisis pangan perkotaan, juga membuka kesempatan tambahan untuk mata pencaharian terutama bagi pekerja yang terdampak baik pemotongan gaji maupun PHK.

Smart City: Digital Infrastructure, the Sanitation of This Age

Berhenti jualan smart city sebagai branding untuk keren-kerenan atau sebatas proyek pengembangan aplikasi di pemerintah kota/kabupaten. Perlu ada terobosan dan perubahan pola pikir bahwa kota cerdas atau smart city bukan sekedar label, pasang cctv di sudut-sudut kota, pasang wifi di taman-taman kota, bangun command center untuk mendisplay dashboard dan lain sebagainya. Tetapi sebuah pendekatan yang dilakukan untuk:

  • Memudahkan pelayanan (service delivery)
  • Meningkatkan partisipasi masyarakat dan transparansi pemerintah dalam penyelenggaraan pengelolaan kota (urban management)
  • Memudahkan pengambilan keputusan/kebijakan berdasarkan bukti/data/fakta yang dapat dipertanggungjawabkan
  • Mengatasi kendala/permasalahan dalam pelaksanaan pemerintahan

Institution, People, Data dan System, framework yang dikembangkan oleh City Planning Lab, World Bank mungkin relevan untuk reorientasi arah pengembangan smart city ini. Terutama di masa pandemi seperti sekarang.

Testing, Tracking, Tracing, di Korea Selatan dapat berhasil karena penerapan pendekatan smart city yang baik. Surveilans masyarakat dilakukan untuk memutus rantai transmisi dan meratakan kurva covid-19. Kan sayang kalau modernisasi teknologi sudah mahal-mahal, kapabilitas surveilans yang sudah lumayan, digunakan hanya untuk memberangus kelompok yang berseberangan, atau memetakan dan menindak potensi ancaman siber dari masyarakat yang mengkritisi kebijakan pemerintah, dengan alasan darurat sipil dan menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Data penting. Sistem penting. Infrastruktur digital untuk memulihkan ekonomi (serta menciptakan iklim usaha bagi berkembangnya ekonomi digital dan ekonomi berbasis pengetahuan) menjadi kesempatan yang perlu disiapkan dengan matang. tapi harus ingat:

Economy can recover, Dead bodies can’t

Dengan demikian, perbaikan data, pengembangan infrastruktur digital, pemetaan secara menyeluruh, kerjasama dengan operator telekomunikasi, perlu didorong dan diarahkan untuk memastikan kurva transmisi dapat melandai dan berakhir segera. Infrastruktur Digital hari ini serupa dengan Sanitasi pada kala manusia berperang dengan wabah Kolera di abad ke 19. Sehingga perbaikan sanitasi “konvensional” saja tidak cukup untuk melawan Covid-19.

Sustainable City: the Future of Compact City and Density Dilemma

Kepadatan dan Transportasi Publik dituduh sebagai salah satu dalang pesatnya transmisi virus Covid-19 di perkotaan, terutama Megacities/Metropolitan. Apakah Covid-19 ini akan me restart konsep pengembangan kota berkelanjutan yang salah satu pilarnya ialah efisiensi konsumsi lahan dan peningkatan produktivitas dengan konektivitas?

Fakta mengenai beberapa index case atau kasus pertama di berbagai belahan negara di dunia muncul dari pinggiran kota/peri-urban (mewakili indikasi sprawling), termasuk Indonesia. Dengan demikian padat atau tidak padat (sprawling), sama-sama memiliki risiko yang tinggi jika dikaitkan dengan Pandemi ini. Sepertinya belum ada suatu titik cerah untuk membanting setir ke arah lain selain pengembangan kota kompak.

Selain itu, efisiensi dan keterjangkauan pelayanan dapat lebih mudah diwujudkan dengan kepadatan yang lebih tinggi. Perhatian yang perlu diberikan bagi kepadatan di perkotaan ialah aspek kelayakhunian (livability). Bagimana supaya tidak hanya padat tetapi layak huni dan manusiawi bagi manusia yang hidup (tidak hanya tinggal, mungkin juga bekerja dan melaksanakan aktivitas lainnya) di dalamnya.

Mengingat Peri-Urban seringkali tidak memiliki cukup sumberdaya (kapasitas, keuangan, jejaring) dibandingkan kota-inti nya, menata ulang pengelolaan perkotaan (refleksi poin 1) menjadi prasyarat penting untuk mewujudkan hal-hal di atas.

--

--

Luthfi Muhamad Iqbal
Luthfi Muhamad Iqbal

Written by Luthfi Muhamad Iqbal

trying to do something best, not to be someone great

Responses (1)