Pinjaman Daerah & Pengembangan Transportasi Perkotaan

Mengukur Kemampuan dan Kapasitas Pinjaman Daerah

Luthfi Muhamad Iqbal
6 min readJul 7, 2019
Proyek Pembangunan LRT Jakarta, Photo by Tom Fisk from Pexels

Potret Layanan Transportasi Eksisting

Berdasarkan Target Global SDGs no 11.2 yakni Accessible and Sustainable Transport System for All, mengamanatkan setiap negara pada tahun 2030 menyediakan akses terhadap sistem transportasi yang aman, terjangkau (murah), mudah diakses dan berkelanjutan untuk semua.

Indikator yang digunakan untuk mengukur jumlah populasi terlayani transportasi umum ialah menggunakan data potensi desa, meskipun frekuensi datanya dalam 10 tahun hanya 3 kali dihitung, setidaknya datanya tersedia. Akan lebih baik apabila memang dapat dihitung setiap tahun. Tetapi yang ada, tentu lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

Total Cakupan Layanan

Pada Peta dibawah ini dapat dilihat persentase Transport Service Coverage berdasarkan Data Potensi Desa 2018, dengan menghitung jumlah Desa yang terlayani angkutan umum (baik dengan rute tetap dan tidak dengan rute tetap) terhadap total jumlah desa yang ada.

Peta Desa dengan Layanan Transportasi Umum (BPS, 2018 — diolah)[1]

Dari peta diatas dapat dilihat bahwa Aceh, Riau, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Papua serta Papua Barat memiliki tingkat layanan yang masih relatif rendah yakni 40–50%

Total Cakupan Layanan dengan Rute Tetap

Adapun apabila dilihat berdasarkan cakupan layanan dengan rute tetap dapat dilihat pada peta dibawah ini:

Peta Layanan Transportasi dengan Rute Tetap (BPS, 2018-diolah)[1]

Apabila dibandingkan dengan data diatas maka dapat dilihat bahwa daerah-daerah dengan Transport Service Coverage yang tinggi belum tentu dilayani oleh sistem transportasi dengan jalur tetap (fixed route). Berikut data lengkap mengenai persentase desa dengan layanan transportasi menurut jenis layanannya:

Persentase Desa dengan Layanan Transportasi (%TSC), dengan Rute Tetap (%FR) dan Tidak dengan Rute Tetap (%UFR) (BPS, 2018 — diolah)[1]

Dari grafik diatas dapat diamati bahwa masing-masing daerah menghadapi persoalan transportasi yang berbeda-beda, beberapa daerah memiliki persen cakupan layanan yang cukup tinggi tetapi masih ditopang oleh angkutan tanpa rute atau tidak dengan rute tetap (unfixed route), pada beberapa daerah yang dominasi angkutan dengan rute tetap (fixed route) namun masih memiliki cakupan layanan yang rendah. Belum lagi, tantangan medan, tidak semua daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang sama, dan konsekuensinya tidak semua dapat dilayani oleh moda transportasi yang sama pula. Berikut dibawah ini hubungan antara tingkat ketersediaan layanan dengan jenis prasarana transportasi menurut desa:

Hubungan antara Jenis Prasarana dan Ketersediaan Transportasi (BPS, 2018 — diolah)[1]

Dari scatter-plot diatas dapat dilihat bahwa desa yang memiliki karakteristik pelayanan transportasi darat, memiliki kecenderungan persentase layanan yang lebih tinggi. Sedangkan desa yang dilayani prasarana transportasi air dan udara sebaliknya. Dengan demikian dapat dilihat bahwa untuk meningkatkan konektivitas transportasi di daerah yang prasarananya ditopang oleh Transportasi Udara seperti di Papua (outliers merah, di kotak grafik no 3, 6, 9), mengembangkan program jembatan udara, dirasa lebih cocok dibandingkan membangun jalan tol, BRT, LRT, MRT. Adapun Kalimantan (berwarna oranye) penataan sistem transportasi sungai dan penyebrangan akan sangat membantu memperkuat konektivitas desa.

Framework Kebijakan Transportasi Perkotaan

Kerangka Pengembangan Kebijakan Transportasi menurut Bank Dunia (2014) membutuhkan 3 paket kebijakan yakni yang bersifat avoid, shift, dan improve. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada skema berikut:

Comprehensive Framework of Policies (World Bank, 2014)[2]

Paket kebijakan pertama, berfokus pada bagaimana mengurangi jumlah perjalanan dan mengurangi panjang perjalanan. Kebijakan kedua berfokus meningkatkan proporsi transportasi publik dan transportasi non-motorized. Ketiga berfokus pada perbaikan arus lalu lintas, teknologi kendaraan dan kualitas bahan bakar.

Setelah apa, lalu Siapa? Pada tingkatan mana Transportasi harus dikelola? Oleh sektor yang mana? dengan bentuk kelembagaan yang seperti apa? dengan kewenangan sejauh apa? instrumen pemberdayaan dan pembiayaan seperti bagaimana?

Urban Transport Governance (World Bank, 2014)[2]

Dalam konteks keruangan, tentu lebih banyak lagi variabel yang patut diperhatikan seperti demografi perkotaan (ukuran dan bentuk kota), ekonomi dan keuangan daerah (PDRB dan kapasitas keuangan), Kondisi Eksisting Transportasi Publik, Perencanaan Transportasi (integrasi land-use dengan transportasi), Kelembagaan dan Regulasi (kebijakan kendaraan non motor dan pengelolaan permintaan transportasi/transport demand management).

Konteks Kebijakan Transportasi Nasional

Bappenas bersama Bank Dunia (2019) telah merancang kriteria umum pemilihan untuk pengembangan transportasi perkotaan berdasarkan populasinya. Lebih lengkap, dapat dilihat sebagai berikut:

Population vs Cost, Kriteria Umum Pemilihan Transportasi Perkotaan (Bappenas & World Bank, 2019)[3]

Untuk kota/kawasan/wilayah perkotaan penduduk dengan populasi dibawah 1.000.000, diutamakan pengembangan transit systems, mulai 1.000.000 dapat dikembangkan Bus Rapid Transit, yakni sistem Bus yang memiliki jalur khusus, lalu mulai 2.000.000 dapat dikembangkan Light Rail Transit, dan mulai 3.000.000 dapat dikembangkan Mass Rapid Transit. Dengan demikian, dalam konteks Indonesia menjadi seperti dibawah ini:

Model Pengembangan Sistem Transportasi Massal berdasarkan Karakteristik Demografi Perkotaan (Bappenas, 2019 — diolah)

Pinjaman Daerah sebagai Alternatif Pembiayaan Pengembangan Transportasi Perkotaan

Tentu, Pemerintah Pusat tidak bisa mengembangkan sistem transportasi di seluruh Kabupaten/Kota/Provinsi di Indonesia, terlebih lagi urusan Perhubungan telah menjadi urusan pemerintahan konkuren semenjak didesentralisasikan pada tahun 1999 dan dipertegas dengan Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak saat itu, kewenangan Perhubungan dibagi antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Pusat.

Akan tetapi, mengandalkan APBD termasuk Dana Transfer Pemerintah Pusat sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pengembangan transportasi terutama transportasi umum massal perkotaan mengingat belanja tidak hanya untuk sektor transportasi. Sehingga Pinjaman Daerah (termasuk Obligasi Daerah didalamnya) menjadi salah satu opsi yang layak untuk dipertimbangkan dalam membiayai pengembangan transportasi terutama transportasi umum massal perkotaan

Jenis-jenis Pinjaman Daerah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 56 tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah, Pinjaman Daerah dapat dibagi menurut jangka waktu pinjaman dan sumber pinjaman. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada grafik dibawah ini:

Skema Jenis Pinjaman Daerah menurut PP 56/2018 tentang Pinjaman Daerah [4]

Dengan demikian, Pembangunan Transportasi Perkotaan masuk ke dalam kategori Pinjaman Jangka Panjang kalaupun akan dibiayai melalui Pinjaman Daerah.

Batasan Pinjaman Daerah

Batasan maksimal Pinjaman Daerah yang dapat dilakukan, diukur dari nilai rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan Pinjaman Daerah (DSCR/Debt Service Coverage Ratio) sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Keuangan yakni 2.5. Berdasarkan aturan tersebut, maka dapat dihitung total pinjaman yang boleh dibuat dengan menghitung formulasi sebagai berikut:

Debt Service Coverage Ratio (DJPK, 2018)[4]

Dengan menghitung Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil dikurangi dengan Dana Bagi Hasil-Dana Reboisasi serta Belanja Wajib (dalam hal ini Belanja Pegawai Langsung dan Belanja Pegawai Tidak Langsung), dapat diperoleh besaran Pokok Pinjaman, Bunga dan Biaya Lain yang diperbolehkan untuk memenuhi batas DSCR 2.5 sebagaimana ditampilkan pada peta dibawah ini:

Batas Kumulatif Pinjaman Daerah berdasarkan Data APBD 2019 (DJPK Kemenkeu, 2019 — diolah)

Pada Legenda terdapat keterangan satuan biaya/unit cost pengembangan sistem transportasi perkotaan menurut Bank Dunia (2019), yakni RBN = Regular Bus Network 0.01 T atau 12.67 M/km; BRT = Bus Rapid Transit 0.07 T atau 65.72 M/km; LRT = Light Rail Transit 0.32 T atau 323.91 M/km; MRT = Mass Rapid Transit 1.41 T atau 1,408.30 M/km. Dengan standar diatas, dapat dihitung dan diperoleh informasi mengenai 40 daerah yang memiliki kapasitas pinjaman tertinggi terhadap alternatif pengembangan sistem transportasi umum massal perkotaan sebagai berikut:

Kapasitas Pinjaman Daerah terhadap Standar Biaya Pengembangan Sistem Transportasi Perkotaan (World Bank, 2019 dan DJPK, 2019 — Diolah)

Dapat dilihat bahwa apabila hanya mengandalkan Pinjaman Daerah (termasuk Obligasi Daerah) banyak daerah yang tidak mampu membangun sistem angkutan umum massal perkotaan. Kerja sama yang baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kab/Kota beserta Badan Usaha baik BUMN, BUMD maupun Swasta mutlak diperlukan untuk mewujudkan terciptanya transportasi perkotaan yang layak, terjangkau, mudah diakses, dan berkelanjutan untuk semua.

Luthfi Muhamad Iqbal
Staf Direktorat Perkotaan Perumahan dan Permukiman, Bappenas

Referensi

[1] BPS. 2018. Potensi Desa 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik

[2]World Bank. 2014. Formulating an Urban Transport Policy: Choosing between Options. Washington D.C.: World Bank http://documents.worldbank.org/curated/en/822871468125704077/pdf/890250ESMAP0RE0TPCBO0Lowres0reduced.pdf

[3]Bappenas. 2019. Challenges and Opportunities for Financing Sustainable Urban Infrastructure in Indonesia. Jakarta: Bappenas

[4]Kemenkeu. 2018. Kebijakan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah. Jakarta: Kemenkeu http://keuda.kemendagri.go.id/asset/kcfinder/upload/files/DITJEN%20PK%20-KEMENKEU.pdf

--

--

Luthfi Muhamad Iqbal
Luthfi Muhamad Iqbal

Written by Luthfi Muhamad Iqbal

trying to do something best, not to be someone great

Responses (1)