Revisiting the Past of Indonesia’s Urban Institution
Eksplorasi Bentuk Pengelolaan Perkotaan Indonesia
Rethinking the Definition
Tulisan ini mengulas mengenai ketiadaan definisi perkotaan di Indonesia, dan dampak ketiadaan definisi dan kelembagaan. Selanjutnya juga dijelaskan mengenai konsep kelembagaan pengelolaan perkotaan yang penulis ajukan.
Confusional state:
Indonesia’s Urban Governance Today
Perkotaan, bukanlah sebuah urusan pemerintahan. Karenanya tidak memiliki peluang dan kesempatan untuk memiliki kementerian/lembaga atau organisasi pemerintahan daerah (OPD) khusus yang menangani persoalan perkotaan. Sebaliknya, akademisi (Moir, 2014; Parnell & Simon, 2014) dan donor (World Bank, 2009; OECD, 2015; UNHabitat, 2015) setuju bahwa tata kelola perkotaan yang efektif tidak hanya bergantung pada kelembagaan dan aktor-aktor di daerah, melainkan juga kerangka yang ditetapkan oleh pemerintah pusat yang menciptakan hubungan antara perkotaan dengan pembangunan daerah yang lebih luas dan nasional (Avis, 2016).
Ketiadaan rekognisi terhadap entitas perkotaan selain sebagai lokus penyelenggaraan urusan pemerintahan menjadi kendala serius bagi pengelolaan perkotaan di Indonesia. Terlebih lagi, penelitian yang membahas mengenai kelembagaan perkotaan di Indonesia lebih banyak bicara mengenai pengelolaan Metropolitan dalam arti sempit, yakni hanya Metropolitan yang didefinisikan oleh RTRWN saja. Bahkan hanya Metropolitan yang bersifat lintas provinsi, atau dengan kata lain: Jakarta/Jabodetabekpunjur.
Padahal menurut sensus 2010, hanya 22% penduduk (55 juta orang) yang tinggal di 98 kota dengan administrasi pemerintahan kota (baik sebagai kota otonom ataupun kota administratif), sedangkan 62 juta orang, warga perkotaan tinggal di perkotaan lainnya yang tidak memiliki pemerintahan kota. Sehingga, mayoritas penduduk perkotaan tidak memperoleh akses pelayanan perkotaan dasar yang layak (Salim & Hudalah, 2019).
Mengingat pertumbuhan kawasan perkotaan di Kabupaten, baik sebagai unit perkotaan yang berdiri sendiri (urbanisasi kota menengah dan kecil dari desa-desa mandiri yang telah bertransformasi), maupun unit perkotaan yang terhubung sebagai upakota (suburban) dari kota besar dan metropolitan (peri-urbanisasi) sangat pesat, maka pengabaian Pemerintah terhadap carut marut pengelolaan perkotaan di Indonesia tidak bisa dibiarkan terlalu lama.
Perkotaan perlu dilembagakan supaya pasar dapat bekerja, lapisan masyarakat yang paling rentan dapat dipenuhi hak-hak dasarnya, terlindungi dari dampak perubahan iklim, serta setiap orang dapat memperoleh manfaat sosial-ekonomi-lingkungan dari urbanisasi tanpa terkecuali. Ketiadaan kelembagaan perkotaan yang fungsional menyebabkan fragmentasi penyediaan layanan dasar dan infrastruktur, menciptakan ekonomi perkotaan yang berkinerja rendah (low performing urban economies) dan penurunan kualitas lingkungan perkotaan, serta berdampak pada kualitas hidup warga perkotaan secara umum.
Revisiting the Past:
Urban Institution in Indonesia 1965–1974
Sepanjang sejarah desentralisasi dari 1945–2020 hanya UU No 18 tahun 1965 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah yang peka terhadap kebutuhan pengelolaan perkotaan. Dalam Undang-Undang tersebut kota diklasifikasikan menurut tingkat administrasinya, terdiri dari:
- Kotaraya: setingkat Provinsi/Daerah Tingkat I (Jakarta)
- Kotamadya: setingkat Kabupaten/Daerah Tingkat II
- Kotapraja: setingkat Kecamatan/Daerah Tingkat III
Namun karena pergantian rezim, secara pelaksanaan UU 18/65 tidak pernah benar-benar terimplementasikan. UU 5/74 sebagai penggantinya, mengganti klasifikasi ini menjadi Kotamadya sebagai Kota otonom yang memiliki pemerintahan daerah dan Kota Administratif yakni Kota sebagai bagian daerah Kabupaten. Hingga akhirnya dalam UU 22/99 sampai sekarang, status kota administratif hilang menjadi kota atau digabungkan kembali pada Kabupaten induknya, dan kawasan perkotaan dalam kabupaten diurus oleh Bupati dan perangkat daerah Kabupaten.
The Future of Indonesia’s Urban Institutions
Menggunakan istilah yang sama dengan yang pernah dipakai di Indonesia selama 1965–1974 yakni Kotaraya, Kotamadya, Kotapraja tetapi diterapkan untuk bentuk kelembagaan yang berbeda dengan yang diatur oleh UU 18/65, disesuaikan dengan kebutuhan perkotaan saat ini dan ke depan.
Selama ini kita bicara Kota dalam konteks Perkotaan menurut UU 23/2014 yang terbagi dalam Kota sebagai Daerah dan Kawasan Perkotaan yang menjadi bagian dari Kabupaten dan Kawasan Perkotaan yang menjadi bagian dari 2 atau lebih daerah yang berbatasan, sebagai berikut:
Dengan menggunakan istilah yang sempat digunakan (Kotaraya — Kotamadya/Kota — Kotapraja), penulis mengusulkan untuk mengatribusikan istilah tersebut pada klasifikasi administrasi diatas, dimana Kotapraja sebagai Kawasan Perkotaan dalam Kabupaten, Kotamadya sebagai Daerah Kota sebagaimana yang ada pada saat ini, Kotaraya sebagai Kawasan Perkotaan lintas daerah, yang menjadi bagian dari 2 atau lebih daerah yang berbatasan.
Dengan adanya istilah yang pasti mengenai klasifikasi perkotaan ini, diharapkan akan memudahkan pengaturan mengenai kelembagaan perkotaan. Maka setiap satuan kota (urban unit) akan menempati suatu relung antara matriks ukuran dan bentuk perkotaan di bawah ini.
Seperti Sabang misalnya, dengan penduduk kurang dari 50.000 penduduk, dalam definisi legal UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, Kota Sabang tidak bisa disebut sebagai Kota Kecil karena batas ambang (threshold) Kota Kecil paling sedikit 50.000 penduduk. Tetapi kita tidak memiliki istilah untuk menyebutkan kawasan perkotaan di bawah 50.000 penduduk. Sehingga dengan penambahan istilah baru yakni Kota Mikro (Mikropolitan), kita bisa mengklasifikasikan Sabang sebagai Kotamadya Mikro/Kota Mikro.
Kasus lain, Kota Tual, sebagai Kota Kecil (jumlah penduduk dalam rentang 50.000–100.000) sebenarnya membentuk sebuah kesatuan perkotaan yang fungsional dengan Kotapraja Langgur. Sehingga menurut matriks di atas, kita dapat menyebut Tual Urban Area sebuah Kotaraya Kecil.
Dengan perubahan definisi dan paradigma ini, diharapkan kita dapat memahami bahwa kawasan perkotaan lintas daerah tidak selalu berbentuk Metropolitan, dan semua bentuk kota (kotapraja, kotamadya, kotaraya) dapat hadir dalam berbagai ukuran sesuai dengan jumlah penduduknya. Serta bentuk dan ukuran inilah yang akan mempengaruhi kompleksitas pengaturan dan kelembagaan pengelolanya.
Begitu pula untuk kasus Banda Aceh dimana terdapat Kotaraya Banda Aceh yang terdiri atas Kota (Kotamadya) Banda Aceh, dan Kotapraja-Kotapraja disekitarnya, seperti pada gambar dibawah ini:
Usulan Konsep Kelembagaan Perkotaan
bagian ini akan menjelaskan mengenai usulan konsep kelembagaan kotamadya, kotapraja, dan kotaraya beserta tantangan implementasinya
Kelembagaan Kotamadya
Secara kelembagaan perkotaan, bentuk perkotaan kotamadya atau kota sebagai daerah sebenarnya tidak terlalu banyak isu/persoalan, karena sudah lebih established diatur secara rinci dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain perbaikan-perbaikan yang sifatnya teknis, salah satu yang perlu mendapatkan perhatian ialah pengelolaan kota/kotamadya yang bersifat overbounded city, dimana batas administrasinya jauh lebih luas dibandingkan area yang riil berciri perkotaan. Seperti contohnya Kota Sabang di bawah ini:
Beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah:
Pertama: memastikan bahwa desa/kelurahan yang masih bersifat rural memiliki pelayanan yang sama secara akses dan kualitas dengan daerah yang bersifat urban namun dengan mempertimbangkan karakter dan potensi wilayah setempat.
Kedua: memastikan terjadi hubungan yang tidak eksploitatif antar urban-rural di dalam wilayah kota, secara teori dalam metabolisme perkotaan seringkali kota menyerap sumber daya desa: manusia, air, tanah, makanan, sumber daya alam; tetapi memproduksi buangan, limbah, juga ke desa tanpa pengelolaan yang baik, atau dengan istilah yang lebih populer: backwash effect. Sebaliknya, semestinya terjadi apa yang disebut trickling down effect, dimana kesejahteraan diharapkan dapat terdistribusi dari perkotaan ke perdesaan di dalam wilayah kota dengan menciptakan keterkaitan kawasan perdesaan dan perkotaan yang saling menguntungkan.
Ketiga: memastikan berjalannya transisi urbanisasi yang tidak meminggirkan masyarakat setempat atau melakukan upaya preservasi, konservasi dan proteksi sosial budaya ekonomi dan lingkungan perdesaan sesuai aspirasi masyarakat perdesaan di dalam wilayah kota. Sehingga arah pengembangan perkotaan tidak selalu menargetkan terjadinya reklasifikasi desa-kota, tetapi bagaimana supaya reklasifikasi desa-kota itu terjadi ketika masyarakatnya juga siap, otherwise lestarikan perdesaan di wilayah kota sebagaimana perdesaan yang seharusnya namun dengan kualitas pelayanan setara perkotaan serta terhubung secara baik dengan perkotaannya, dan fokus untuk membangun kota yang kompak (compact city) di wilayah yang urbanized.
Kelembagaan Kotapraja
Lembaga Pengelola Kotapraja dapat berstatus sebagai Kecamatan yang diperkuat menjadi Kotapraja untuk kawasan perkotaan tidak bersifat lintas kecamatan (atau memang sengaja dipecah menurut kecamatan-kecamatan untuk Kotapraja yang berada dalam urban unit lintas daerah untuk menghindari redundansi pengelolaan), atau berstatus sebagai Badan Daerah: Kantor Pengembangan dan Pengelolaan Kotapraja (Town Development and Management Office) yang dipimpin oleh Walikotapraja.
Lembaga Pengelola Kotapraja melalui penguatan kecamatan difokuskan untuk memperkuat dan memperjelas apa yang saat ini sudah diatur dalam PP 17 tahun 2018 tentang Kecamatan dalam rangka peningkatan kualitas pembangunan dan pengelolaan perkotaan.
Struktur Kotapraja sebaiknya mixed tidak hanya berisi birokrat saja, melainkan membuka pegawai yang professionally-hired untuk mengisi pos-pos tertentu, terutama yang sifatnya non-administratif.
Penguatan 1: Penambahan unit Geographical and Urban Data System dibawah Sekretaris Kotapraja, sehingga kegiatan pembangunan, perubahan guna lahan, migrasi masuk-migrasi keluar, population grid, di wilayah kecamatan dapat terpetakan dengan baik dan menjadi feedback yang diperlukan untuk pengambilan kebijakan di wilayah perkotaan.
Penguatan 2: Pemerintahan dan Pelayanan sebagai unit pelaksana PATEN (Pelayanan Administrasi Terpadu Satu Pintu Kecamatan) dan corong kebijakan Pemerintah Daerah serta fasilitasi desa/kelurahan, perlu didorong untuk lebih digital dan melayani (dilan) dan memperhatikan pelayanan bagi kelompok masyarakat rentan (difabel, lansia, anak-anak, perempuan).
Penguatan 3: Ketentraman dan Ketertiban tidak hanya Linmas dan Koordinasi Pemilu, Trantibum dengan Satpol PP, TNI dan Polri di tingkat Kecamatan, melainkan pengendalian pembangunan penegakkan perda, pewujudan safe and resilient city, menciptakan ruang perkotaan yang aman, nyaman, tangguh, tentram dan tertib bagi seluruh masyarakat perkotaan termasuk difabel, lansia, anak-anak, perempuan (misal dengan memastikan terdapat jalur pejalan kaki yang layak, penerangan jalan umum yang memadai, keselamatan transportasi yang baik, dan sebagainya). Serta upaya kesiapsiagaan untuk menghadapi bencana alam maupun sosial.
Penguatan 4: Pembangunan dan Pemeliharaan lebih pada pelaksanaan Musrenbang Kecamatan dan Musrenbang Kelurahan yang didorong untuk lebih inklusif, transparan, dan juga dengan menggunakan pendekatan digital. Disamping itu perlu adanya inisiatif-inisiatif baru dalam Pembangunan dan Pemeliharaan Sarana Prasarana yang dibutuhkan baik yang dasar seperti air minum, sanitasi, persampahan (pengumpulan dari rumah tangga ke tempat pengolahan sampah), energi, telekomunikasi, perumahan maupun sarana prasarana lainnya seperti penataan Pasar, RTH Publik yang inklusif dan aktif, Taman Bacaan/Perpustakaan untuk meningkatkan literasi, Pengembangan sistem transportasi tidak bermotor (non motorized transportation) sebagai transportasi lingkungan yang menghubungkan perumahan dan permukiman kepada simpul-simpul transportasi publik, serta mengoptimalkan sumber daya pembiayaan seperti CSR, donasi/sumbangan, hibah, wakaf, urun daya (crowdfunding), swasta, dalam rangka pembangunan dan pemeliharaan sarana prasarana lingkungan.
Penguatan 5: Pemberdayaan dan Kesejahteraan Rakyat tidak hanya sebagai penyalur bansos atau penyelenggaraan kegiatan hari besar keagamaan saja, tetapi misal pengembangan kegiatan urban farming, kegiatan community recycling, penguatan perempuan dan keluarga, pengembangan kewirausahaan dan ekonomi perkotaan seperti pembinaan PKL sehat di sekitar sekolah dan RTH, peningkatan daya saing pasar rakyat, peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, termasuk percepatan pemenuhan SPM, serta pembinaan budaya berkota seperti budaya antre, budaya bermukim secara vertikal, budaya membuang sampah pada tempatnya, budaya mencuci tangan, budaya menggunakan transportasi umum, dan lain sebagainya.
Sehingga pelembagaan tidak hanya mengubah branding dari Kecamatan menjadi Kotapraja saja, melainkan meningkatkan kualitas pengelolaan perkotaan dengan hal-hal yang secara esensial perlu dan lebih efektif dilaksanakan dengan pola tugas pembantuan dari Dinas di tingkat Kabupaten kepada Kotapraja.
Kelembagaan Kotaraya
Adapun Kelembagaan Kotaraya dibagi menjadi 2 jenis yakni: Lebih dari satu Provinsi dan Tidak melampaui satu Provinsi. Apabila hanya berada dalam 1 provinsi yang sama, maka lembaga pengelola kotaraya berstatus sebagai Badan Daerah Provinsi: Kantor Pengembangan dan Pengelolaan Kotaraya (Greater City Development and Management Office) yang dipimpin oleh Walikotaraya. Adapun apabila lintas provinsi, alternatifnya ialah sebagai instansi vertikal dari suatu kementerian (misal Kementerian Dalam Negeri) atau Badan Hukum yang dibentuk sebagai Pihak Ketiga dalam skema Kerjasama Daerah dengan Pihak Ketiga.
Perbedaan yang mencolok dari Kelembagaan Kotapraja ialah dalam Kelembagaan Kotaraya ini perlu lebih diperhatikan hal-hal yang sifatnya regional seperti Pengelolaan Sumber Daya Air dari konservasi di bagian hulu, pemanfaatan air baku, pengendalian banjir dan pengelolaan jariingan pematusan/drainase, pengolahan menjadi air layak minum, hingga penyaluran ke sambungan rumah; Pengelolaan Jaringan Bawah Tanah Terintegrasi (integrated utilities ducting system) seperti Gas Kota, Jaringan Kabel Listrik, Kabel Telekomunikasi dan Fiber Optik, serta galian saluran stormwater dan greywater yang terpisah namun terintegrasi; Pengembangan Sistem Transportasi Massal dan terintegrasi antarmoda secara berhirarki hingga moda pengumpan (feeder) dan NMT pada skala lingkungan; Pengelolaan Limbah, termasuk penanganan sampah perkotaan (municipal solid waste), limbah B3 dan rumah sakit, penanganan limbah cair rumah tangga dan industri, jaringan sewerage, pelayanan lumpur tinja terjadwal untuk diolah di instalasi pengolahan lumpur tinja regional, serta fungsi-fungsi penting lainnya seperti: Penataan Ruang (Perencanaan hingga Pengendalian), Pengelolaan dan Penguasaan Lahan termasuk urban vacant land, land banking, land leasing, land sale, dan lain sebagainya; Optimalisasi Pembiayaan Pembangunan Perkotaan seperti penerbitan municipal bonds bekerjasama dengan Bank Pembangunan Daerah, pengembangan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur, Pinjaman Daerah, serta Dana-Dana Keagamaan seperti Zakat, Infaq, Shodaqoh dan Waqaf atau dana amal lainnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa Kelembagaan Perkotaan harus dilaksanakan dengan pola collaborative governance sehingga penting untuk bermitra dengan organisasi non pemerintah, tokoh agama/tokoh masyarakat terutama keterlibatan kelompok masyarakat rentan, badan usaha, lembaga penelitian, perguruan tinggi, bahkan lembaga di luar negeri untuk memaksimalkan daya guna dan hasil guna pembangunan dan pengelolaan perkotaan yang diselenggarakan.
Dengan demikian insya Allah istilah fragmented urban governance tidak lagi relevan untuk konteks perkotaan Indonesia ke depan, apabila parapihak mau berkomitmen untuk mewujudkan pembangunan dan pengelolaan perkotaan yang lebih berkelanjutan.
Luthfi Muhamad Iqbal
Staf Direktorat Perkotaan, Perumahan dan Permukiman,
Kementerian PPN/Bappenas
Referensi
Amir, Sulfikar (2020). Unpacking Myth of Smart City. Bandung: SDGs Center Universitas Padjadjaran
Avis, W. R. (2016). Urban Governance (Topic Guide). Birmingham, UK: GSDRC, University of Birmingham. tersedia di: https://gsdrc.org/topic-guides/urban-governance/
Moir, E., Moonen, T. & Clark, G. (2014). What are future cities? Origins, meanings and uses. London: Foresight, Government Office for Science
Parnell, S. & Simon, D. (2014). National urbanization and urban strategies: Necessary but absent policy instruments in Africa. In S. Parnell & E. Pieterse. (eds). Africa’s urban revolution (pp.237–256). London: Zed Books.
OECD. (2015). The metropolitan century: Understanding urbanisation and its consequences. (Policy Highlights). Paris: OECD
Salim, W., & Hudalah, D. (2019). Urban Governance Challenges and Reforms in Indonesia: Towards a New Urban Agenda. New Urban Agenda in Asia-Pacific, 163–181. doi:10.1007/978–981–13–6709–0_6
UN-Habitat. (2015d) Urban governance. (Habitat III Issue Paper 6). Nairobi: UN-Habitat
World Bank. (2009). Systems of cities: Harnessing urbanization for growth and poverty alleviation. Washington, DC: World Bank.