Rumah Tangga tanpa Rumah Milik
Milenial dan Persoalan Bermukim Pasca Menikah
Sedari masih di kampus, meski seringnya belajar dibeda kelas, kami berdua (Tania dan saya) sama sama dikuliahi tentang pertumbuhan jumlah penduduk melampaui pertumbuhan pasokan pangan… apalagi lahan yang memang tidak bertumbuh (kecuali… karena perubahan guna lahan tentunya). Konsekuensinya, ya harga lahan selalu semakin tinggi (meski mungkin aja turun kalau ada eksternalitas negatif). Dengan demikian, memiliki rumah yang terjangkau hampir menjadi angan-angan bagi pasangan Milenial banyak mau, tanpa privilege apapun: berlatar belakang biasa-biasa aja, berpenghasilan biasa-biasa aja, seperti kami.
Ayah saya yang dulunya seorang tentara, bercerita bahwa dulu Beliau sebelum menikah sudah punya rumah, meski itu rumah dinas, dan dibayar dengan potongan gaji secara menyicil setiap bulannya. Dengan standar tersebut Beliau menyaratkan saya untuk menikah setelah punya rumah. Untung saya jadi anak tidak nurut-nurut amat, kalau tidak mungkin saya sekarang belum menikah dan entah kapan akan menikah kalau syaratnya seperti itu. Semoga saya tidak jadi anak durhaka, amin.
Jujur, kekhawatiran terbesar saya selain biaya pernikahan ialah tempat tinggal setelah menikah. Setelah menabung selama kerja, alhamdulillah dengan izin Allah, anggaran untuk menikah yang memang di set tidak terlalu besar, sudah terkumpul. Anggaran untuk kepemilikan rumah ya tentu belum. Mau ikut program kredit pemilikan rumah (KPR) harus berstatus pegawai tetap minimal satu tahun. Sudah kerja 1 tahun setengah tetep ditolak sama bank, yah begitulah. Akhirnya cari-cari kandidat apartemen untuk sewa, supaya aman saja ketika ditanya mertua dan keluarga. Eh yang pas dikantong, unit sudah tersewa semua, ada yang masih available, ga aksesibel alias kejauhan. Rumah tapak lebih parah lagi. lebih parah mahalnya atau lebih parah jauhnya, ya antara dua itu.
Alhamdulillah Tania keterima kerja di Bogor, jadi ada alasan untuk tinggal tidak di pusat kota. Sebelum Tania mulai kerja, Alhamdulillah lagi kami dapat sewa unit studio yang cukup terjangkau seharga Rp 2.500.000 sebulan, meski kalau dihitung terhadap penghasilan saya yang dibawah PTKP ya jauh diatas 30% penghasilan bahkan diatas 50% (melanggar teori yang diperbolehkan), tapi ya harus disyukuri karena seringkali comfort come with the price. Semenjak itu, saya resmi menjadi penduduk ulang-alik yang agak capek sih tiap hari kaya gitu, tapi selalu senang dan semangat untuk pulang, sampai sekarang. Ihiy.
Saya sering berdiskusi, bahkan sampai berdebat, dengan siapa lagi kalau bukan dengan Tania, cari-cari rumah tapak, cari unit apartemen yang lebih murah tapi feasible untuk dimiliki dalam jangka waktu cicilan 10–15 tahun. Dari harga yang masuk, luasan ruangnya terbatas, misal unit studio, cicil sampai 10 tahun, tiba tiba punya anak 1, kan butuh space yang lebih luas tapi cicilan harus tetap dibayar, luasan ya tetep segitu-gitu aja. Ada yang 2 BR (Bedroom) belum kecicil dengan kondisi finansial kaya sekarang. Begitulah, karena rumah itu proses bukan produk akhir, rumah itu tumbuh bersama penghuninya.
Ada rumah murah, bagus, masuk pagu, di Parung Panjang, di Maja (setengah jalan dari Tanah Abang-Rangkasbitung, sebagai ilustrasi), lagi-lagi jarak yang harus dikorbankan. Saya pikir, kalau harus dua-duanya (Tania dan saya) menglaju, yang dikhawatirkan kebahagiaan kami yang berkurang, seperti kata happy city: lifetime-commuting can destroy your family, redaksinya gak gitu sih, tapi saya memahaminya seperti itu. Ya ada benernya mungkin ya, karena kalau dua-duanya menglaju, waktu yang dihabiskan bersama keluarga semakin sedikit, belum lagi akses pendidikan berkualitas untuk anak, banyak deh pertimbangannya. Rumah bagus tapi kalo moodnya ga bagus, ga happy, sering berantem karena sama sama cape, ya sama aja (ga sama aja sih, at least kan rumahnya bagus ya 😭)
Oh mau bangun rumah aja, mau co-housing, lagi ngga ada yang buka lowongan, cari tanah sendiri, eh tanah yang murah sejakarta raya cuma ada di Pulau Sebira, pulau yang paling ujung di Kepulauan Seribu. Dipikir-pikir seru juga punya retirement house disana, wooden-beach-cabin, tapi ya ga realistis kalau untuk kebutuhan bermukim hari ini. Iya juga sih. Emang the sims, tinggal rosebud/motherlode/klapaucius bisa beli segala galanya :(
Sempet terpikir, apa ngga sekarang tinggal ditempat sewa yang murah aja biar bisa nabung banyak buat beli rumah nantinya. Tapi ya balik lagi comfort come with the price. Sampai cari cari rumah murah yang desainnya ngga murahan, di Citayam, Bojong gede, Parung, Kemang, Cilebut, Ciomas, Laladon, ya banyak sih tapi kesimpulannya selalu cuma boleh ambil 2 dari 3 hal ini:
Price, Proximity, Preference
Yang murah, deket, biasanya desainnya tidak sesuai preferensi kami. Ada yang bagus, murah, deket gunung Salak, atau setengah jalan ke Rangkasbitung. Ada yang deket, bagus, ga kebeli cuma bisa liatin maketnya doang di mall. Ada yg deket stasiun, bagus, murah, aksesnya masih jalan tanah merah sampai pas survei aja abang gojek yg ngeboncengin jatuh ketiban motornya sendiri, meanwhile saya sempet nahan pake kaki meski licin dan ledok, ya emang gitu kali ya nasibnya.
Sampai titik dimana kami bertanya kepada diri kami sendiri, apa sih yang penting dalam hidup ini? Kenapa harus punya rumah? Gengsi? Emang kita bakal happy kalau punya rumah bagus tapi jauh? Emang rasa bangga punya rumah sendiri, omongan2 kerabat, keluarga, sanak saudara, warganet, bisa ngelunasin cicilan KPR? Ini belum pakai argumen KPR riba atau gimana ya kalo itu makin panjang karena rumah yang ada embel-embel syariahnya sejauh yang ditemukan, tetep ga ada yang affordable juga, sama aja lah.
Cuplikan pertanyaan Quora dibawah ini mewakili refleksi kami kala itu:
What is it that really matters the most in our life?
Life happens and forever rushes forward. But the present moment is what we have, so choose to be happy and love right now. Don’t wait until the future to be happy, because it’s not a destination.
Akhirnya kami memutuskan untuk berhenti mencari dan menjalani hari hari. Sampai tiba-tiba ada pemberitahuan kalau saya akan menjalani Latsar selama 3 bulan dengan 3 minggu berturut-turut tidak ada dirumah selain akhir pekan. Barulah mikir lagi, kayanya ngga mungkin bisa nerima keluarga buat nemenin Tania dibulan puasa ini kalo masih tetep tinggal di unit studio. Iya, harus ada keputusan, tindakan yang dikoreksi dari apa yang dijalani saat ini.
Mau ga mau, kami harus pindah. Alhamdulilah setelah keliling momotoran, dapat deh kontrakan (unfurnished) luas bangunan 70m2 dekat dengan kantor Tania (tentu makin jauh dari kantor saya) dengan harga sewa Rp 1.600.000-an sebulan yang dibayar langsung setahun diawal, plus harus nge-furnish, yah namanya juga milenial banyak mau. (untung Tania jago cari barang murah & bagus, yang keliatan ikea-ish tapi harganya bisa kurang dari setengahnya, huhu, terharu, padahal selalu berantem kalo lagi nyusun RAB, tapi ya fulfilling juga sih bisa ngisi sesuai keinginan dan kemampuan meski seadanya).
Ga rasional, iya, mungkin. Masalahnya ada banyak pilihan yang murah juga, udah full-furnished, tinggal ngisi, deket juga, tapi ya, ngga sesuai preferensi. Nah masalahnya kan preferensi ini kan suka dan tidak suka, dia beyond rationality. Yaudah mau gimana lagi.
We’re happy anyway!
Sampai kantor, diskusi soal penyediaan perumahan. Kesimpulannya ya kalau kata Kak Laras memang sekarang housing markets dynamics sudah geser dari owning (kepemilikan) ke renting (sewa). Pola pikir kita juga yang harus bisa melihat bahwa Fast-rising home prices and higher mortgage rates sudah sedimikian rupa mengubah lansekap pasar perumahan, ditambah karakter lahan dan perumahan sebagai properti yang immobile (setidaknya hingga saat ini). Kalau kata Pak Jehan, ini kegagalan pemerintah dalam hal penyediaan perumahan, betul juga. Kalau kata Rifqi, kebijakan pemerintah yang baik ialah yang menumbuhkan, bukan mematikan pasar, i… iya…
Kata Kak Laras: Gausah takut gak bisa ngewarisin rumah untuk anak cucu, toh masing-masing juga nantinya punya housing-career path nya sendiri-sendiri. Iya juga sih. Jadi kalau mau menempuh jalan lifetime-renting, rumah tangga tanpa rumah milik, bukan hal yang memalukan untuk jadi pilihan.
Renting carries a stigma. “There is a social expectation to own a house at a certain point. You’re made to feel like a second-class citizen if you rent.”
Renting can be a happy experience and for some, a lifetime of tenancy holds few fears. “I may not own the property but this is definitely my home,”
Dan semuanya dimulai dengan Keberanian untuk memulai, keberanian untuk hidup dalam kehidupan yang diinginkan, yang kita definisikan sendiri, bukan karena memenuhi ekspektasi sosial, yang seringnya malah bikin susah. :(
“It takes courage to live your life the way you want. Don’t let others define you. You define Yourself.”
Banjarmasin, 22 April 2019
Luthfi Muhamad Iqbal